Kekuatan Legenda Jaka Tarub dalam Keselarasan Semesta di Yogyakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 22 April 2022 | 12:00 WIB
Lukisan bergaya Bali tentang kisah Jaka Tarub yang mengintip para bidadari yang sedang mandi. (Museum Puri Lukisan)

Berkait perspektif ekologi, "warga desa Taruban sangat akrab dengan lingkungannya," Ida mengungkapkan. "Mereka terlibat dalam ikatan ganda yang memberikan hak istimewa untuk memanfaatkan dan menghormatinya."

Nisan Dewi Nawang Wulan di Desa Taruban, Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. (Ida Fitri Astuti/ICRS)

Warga mengenal pohon-pohon besar sebagai sosok, yang memiliki keterkaitan—saling mengambil dan memberi. Mereka melakukan ritual demi menjaga hubungan harmoni itu. Kendati musim kemarau yang kering, sendang tetap terjaga alirannya. "Pohon, makam dan sendang itu sebagai person atau sebagai orang yang bisa memberikan sesuatu kepada kita," ujarnya.    

"Mereka dilarang menebang pohon dan melakukan tindakan yang merugikan kehidupan pohon," ungkap Ida tentang aturan yang lahir dari legenda atau mitos di Taruban. "Dalam hal ini, sangat jelas terlihat bahwa masyarakat desa Taruban memiliki persepsi ekologis."

Warga menghormati dan memelihara ketiga situs sakral itu dengan rangkaian ritual komunal setiap tahun. Salah satunya, bersih desa yang digelar setelah panen setiap tahun. Ketika itu warga bersama-sama berkumpul merapal doa yang mengiringi sesajen, juga menari tayuban. Setiap Kamis malam dan malam Tahun Baru Islam, warga juga memuliakan ketiga situs itu dengan merapalkan doa, menyalakan kemenyan dan mempersembahkan sesaji beragam puspa, yakni kembang telon—mawar, melati, dan kantil.

 

Wit Sambi, pohon keramat di Desa Taruban, Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. (Ida Fitri Astuti/ICRS)

"Ritual dan legenda dilestarikan secara lisan dari generasi ke generasi," Ida mengungkapkan. Namun, dia menambahkan, tradisi ini dan juga yang serupa di berbagai tempat, sering ditanggapi oleh umat beragama sebagai praktik sesat atau menyesatkan.

Ritual di Taruban masih hidup sampai sekarang karena mitos yang terpelihara dengan baik secara lisan. Kearifan ini diperlukan sebagai benteng terakhir warga untuk melindungi dan menghindari dampak buruk pembangunan pada desa mereka. "Ritual ini berdampak positif terhadap lingkungan dan itu menjawab tantangan yang sedang dihadapi oleh Kulonprogo," ujar Ida. "Bisa jadi ritual ini menjawab tantangan terbukanya lahan untuk industri."

"Bayangkan apabila tidak ada mitos, tidak ada makam, tidak ada ritual bersih desa? Apakah masih bisa pohon-pohon besar terpelihara, sumber air terjaga?" ujar Ida beretorika. "Nah, ini signifikansi dari mitos dan legenda yang dipelihara."

   

Baca Juga: Kearifan Warga dalam Memuliakan Dua Sendang Keramat di Salatiga

Baca Juga: Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'