Nationalgeographic.co.id—Seperti tahun-tahun biasanya menjelang lebaran, tradisi masyarakat Indonesia tak terlepas dari mudik. Budaya yang sudah mengakar erat selama ratusan tahun lamanya, bagian yang tak terpisahkan di akhir bulan Ramadan.
Mengadu nasib di tanah rantau adalah alasan utama bermulanya budaya mudik di tengah masyarakat. Hal itu, bahkan telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya sejak zaman Hindia-Belanda.
Tidak diketahui angka tahun yang mampu menunjuk aktivitas mudik pertama di Indonesia, namun kisah yang paling nyentrik adalah histori tentang mudik tatkala pagebluk melanda Jawa dan merepotkan pemerintah Hindia-Belanda.
Mudik di era Hindia-Belanda agak sedikit berbeda dalam kacamata sejarah. Dilansir dari sebuah artikel karya Heri Priyatmoko, dosen Sejarah dari Universitas Sanata Dharma, menyebut jika di awal abad ke-20, Vorstenlanden (sepanjang Yogyakarta dan Surakarta) menjadi tempat orang-orang mengadu nasib.
Heri Priyatmoko menulis di Repository Universitas Sanata Dharma dengan judul Pagebluk dan Mudik yang terbit pada 2020. Heri menyebut, banyak orang dari berbagai daerah datang untuk mencari pengharapan hidup yang kelak menciptakan aktivitas mudik setiap menjelang lebaran.
Mudik mengarahkan mereka pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak keluarga dan saudara sebagai bentuk pertalian dan budaya umat Islam di Indonesia. Sebenarnya, bukan mudiklah yang menjadi penyebab utama bermulanya pagebluk di Jawa pada 1910. "Petaka bermula tatkala petinggi Hindia-Belanda menjalankan impor beras dari Birma (kini menjadi Myanmar) dasawarsa pertama abad XX akibat musim paceklik," tulisnya.
Heri menambahkan, "persawahan menyusut gara-gara ditanami komoditas perkebunan." Beras-beras yang diimpor, dibawa dengan kapal dan dilabuhkan ke pelabuhan-pelabuhan penting pemerintah kolonial.
Setelahnya, lintasan kereta api membantu mengirimkan beras-beras itu terdistribusi kepada pemerintah kolonial hingga sampai ke penduduk Hindia-Belanda. Nahas, tikus yang membawa penyakit yarsinia pestis atau pes itu, menguntit dalam karung-karung beras. Dilaporkan, bahwa jenis pes yang mewabah adalah pes bubo dan pes paru-paru.
Di awal perkembangan pes, budaya mudik yang sudah mengakar tak bisa begitu saja dilewatkan para pengadu nasib di perantauan. Dimulai pada tahun 1910, wabah pes turut dalam arus mudik, menyebar ke kota-kota di Jawa. Hal itu mempersulit pemerintah kolonial untuk membendung persebaran pagebluk.
Sampai 1924, Karesidenan Surakarta telah mencatatkan angka kematian sebanyak 4.482 jiwa akibat pagebluk pes. "Setahun kemudian, korban bertambah menjadi 5.145 jiwa," imbuhnya.
Kondisi yang kian genting ini menyebabkan kengerian bagi sejumlah orang yang ingin mudik dari tanah rantaunya. Heri mengungkap, "hidup di kota tiada harapan, sedangkan jikalau mudik, pes telah mengamuk di desa."
Nasib yang tak selalu mujur untuk tetap bertahan di tanah rantau, menjadikan para pemudik untuk tetap nekat pulang ke kampung halaman. "Dimensi spiritual Jawa juga menggerakkan hati untuk mudik seraya nyadran bertepatan dengan bulan Ruwah," lanjutnya.
Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda
Baca Juga: Pesjati, Takdir Balita Penyintas Pagebluk Pes di Hindia Belanda
Baca Juga: Pagebluk Pes Mematikan Menginfeksi Jalur Sutra Antara 1346-1352
Baca Juga: Apa Yang Sebenarnya Shakespeare Tulis Tentang Wabah Semasa Hidupnya
Kondisi mudik yang berlanjut membuat gelombang pagebluk terus meningkat. Namun, pemerintah kolonial sekeras mungkin untuk memberlakukan kebijakan isolasi kepada para pemudik yang balik ke desa-desa di Jawa.
Residen Harllof menerbitkan tulisan berjudul memorie van overgave, yang menyebutkan tentang penyediaan barak untuk tempat karantina. Sekitar 1.200 rumah penduduk telah dikosongkan dan penghuninya diungsikan ke barak-barak yang telah disediakan pemerintah bagi yang terjangkit maupun yang tidak terjangkit.
Kengerian juga digambarkan dalam tulisan Heri Priyatmoko yang menggambarkan suasana mencekam yang mewarnai mudik di awal abad ke-20 dengan ungkapan: "esok lara, sore mati." ungkapan itu bermakna "pagi sakit, sore meninggal dunia."
Upaya lain yang dilakukan pemerintah kolonial adalah dengan mendirikan pusat penelitian melalui laboratorium tikus yang diprakarsai Dokter Betmen. Bagi mereka yang mudik, mereka akan bergabung dengan tetangganya untuk bergotong-royong merenovasi tempat tinggal agar tak disambangi tikus yang bisa saja membawa penyakit.