Nationalgeographic.co.id - Tidur memainkan peran penting dalam mengaktifkan fungsi kognitif dan menjaga kesehatan psikologis manusia. Hanya saja, seiring dengan bertambahya usia kerap terjadi perubahan dalam pola tidur. Termasuk kesulitan untuk tidur dan tetap tertidur serta penurunan kualitas dan kuantitas tidur.
Diduga gangguan tidur dapat menyebabkan penurunan kognitif dan gangguan kejiwaan pada populasi yang menua. Melansir Science Daily, para ilmuwan dari Inggris dan Tiongkok meneliti hampir 500.000 data orang dewasa dari Biobank Inggris.
Peserta berusia 38-73 tahun ini mendapat pertanyaan tentang pola tidur mereka, kesehatan mental dan kesejahteraan. Mereka juga mengambil bagian dalam serangkaian tes kognitif. Pencitraan otak dan data genetik tersedia bagi hampir 40.000 peserta penelitian.
Studi ini juga telah dipublikasikan di jurnal Nature Aging dengan judul "The brain structure and genetic mechanisms underlying the nonlinear association between sleep duration, cognition and mental health" pada 28 April 2022.
Dengan menganalisis data ini, tim menemukan bahwa durasi tidur yang tidak cukup dan berlebihan diasosiasikan dengan gangguan kinerja kognitif. Mulai dari kecepatan pemrosesan, perhatian visual, memori, dan keterampilan memecahkan masalah.
Durasi tidur tujuh jam per malam adalah jumlah tidur yang optimal untuk kinerja kognitif, tetapi juga untuk kesehatan mental yang baik. Orang-orang yang mengalami lebih banyak gejala kecemasan, depresi, dan kesejahteraan yang lebih buruk jika mereka melaporkan tidur lebih lama atau lebih pendek.
Para peneliti mengungkapkan salah satu alasan yang mungkin antara kurang tidur dan penurunan kognitif adalah gangguan gelombang lambat–'dalam'–tidur. Gangguan pada jenis tidur ini telah terbukti memiliki hubungan erat dengan konsolidasi memori serta penumpukan amiloid–protein kunci, ketika salah melipat, dapat menyebabkan 'kusut' di karakteristik otak. Selain itu, kurang tidur dapat menghambat kemampuan otak untuk membuang racun.
Baca Juga: Studi Baru: Insomnia Dapat Meningkatkan Risiko Diabetes Tipe 2
Baca Juga: Paparan Cahaya Saat Tidur Dapat Memicu Penyakit Jantung dan Diabetes
Baca Juga: Budaya Tidur Siang yang Sepele, tapi Penting bagi Orang Romawi
Tim ilmuwan juga menemukan hubungan antara jumlah tidur dan perbedaan struktur daerah otak yang terlibat dalam pemrosesan kognitif dan memori. Sekali lagi dengan perubahan yang lebih besar terkait dengan lebih dari atau kurang dari tujuh jam tidur.
Memiliki tidur tujuh jam yang konsisten setiap malam, tanpa terlalu banyak fluktuasi dalam durasi juga penting untuk kinerja kognitif dan kesehatan mental dan kesejahteraan yang baik. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa pola tidur yang terganggu dikaitkan dengan peningkatan peradangan, menunjukkan kerentanan terhadap penyakit terkait usia pada orang tua.
"Meskipun kami tidak dapat mengatakan secara meyakinkan bahwa terlalu sedikit atau terlalu banyak tidur menyebabkan masalah kognitif, analisis kami yang mengamati individu dalam jangka waktu yang lebih lama tampaknya mendukung gagasan ini,” ujar Profesor Jianteng Feng dari Universitas Fudan, Tiongkok.
“Tetapi alasan mengapa orang yang lebih tua memiliki tidur yang buruk tampaknya kompleks, dipengaruhi oleh kombinasi susunan genetik dan struktur otak kita,” tambahnya.
Para peneliti mengatakan temuan menunjukkan bahwa durasi tidur yang tidak cukup atau berlebihan mungkin menjadi faktor risiko penurunan kognitif dalam penuaan. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang telah melaporkan hubungan antara durasi tidur dan risiko pengembangan penyakit Alzheimer dan demensia, di mana penurunan kognitif merupakan gejala yang khas.
Profesor Barbara Sahakian dari Departemen Psikiatri di Universitas Cambridge mengatakan bahwa mendapatkan tidur malam baik adalah penting di semua tahap kehidupan, terutama seiring dengan bertambahnya usia.
"Menemukan cara untuk meningkatkan kualitas tidur bagi orang tua bisa sangat penting untuk membantu mereka menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan dan menghindari penurunan kognitif, terutama untuk pasien dengan gangguan kejiwaan dan demensia,” pungkas Profesor Barbara Sahakian yang turut terlibat dalam studi ini.