Tradisi Ottoman dalam Merayakan Akhir Ramadan dan Momen Lebaran

By Galih Pranata, Minggu, 1 Mei 2022 | 09:59 WIB
Baklava, suguhan manis yang mewarnai tradisi Ottoman selama hari raya lebaran. (Daily Sabah)

Nationalgeographic.co.id—Sejak Islam berkembang di kalangan bangsawan Turki, Kekaisaran Islam Ottoman (Utsmani) selalu bisa menikmati libur Ramadan dan memuliakan hari Idulfitri atau momentum lebaran.

Tidak hanya di Turki saja, selama Ramadan, umat Islam di seluruh dunia memulai puasa dari fajar hingga senja dalam acara puasa komunal terbesar di dunia. Semua muslim di belahan negara lain, memiliki cara dalam merayakan Ramadan.

Budaya unik di bulan puasa adalah tembakan meriam. Utsmani-lah yang memulai tradisi menembakkan meriam pada tahun 1821—ditembakkan dari Benteng Anatolia, atau Anadolu Hisar—untuk menandai waktu berbuka puasa.

Para tetangga akan mengetuk pintu untuk membagikan roti goreng lezat yang disebut sebagai pişi dan serbat Ottoman yang lezat dan sehat yang konon telah muncul sebagai hasil dari Ramadan.

Anak-anak sangat senang menyambut datangnya bulan Ramadan, "seperti pertunjukan teater dan pertunjukan wayang kulit, yang disebut sebagai Hacivat dan Karagöz," tulis Lelyla Yvonne Ergil kepada Daily Sabah.

Leyla menulis dalam sebuah artikel yang berjudul "Turkish and Ottoman traditions for Eid al-Fitr: A time for gratitude" dipublikasikan Daily Sabah pada tanggal 12 Mei 2021.

Murat Bardak, seorang pengamat sejarah Ottoman, menyebut tentang budaya Şükür Bayramı, sebuah tradisi untuk menikmati sepanjang libur Ramadan yang ditetapkan oleh Sultan kepada rakyatnya.

Menurut Bardak, istilah Şükür digunakan untuk merujuk pada rasa syukur yang dirasakan oleh mereka yang telah menunaikan kewajiban dalam ajaran Islam dengan cara berpuasa.

Begitu juga dengan budaya Şükür Bayramı dirayakan menjelang Idul Fitri sebagai momentum puncak yang membahagiakan bagi para muslim di Ottoman.

Selama tiga hari libur lebaran yang diperingati dalam Şükür Bayramı, anak-anak juga akan mendapatkan uang jajan yang akan mereka gunakan untuk membeli banyak permen. Wajar saja, penggunaan istilah Şükür lekat dengan istilah Şeker yang berarti gula.

"Şeker Bayramı adalah salah satu yang melekat dan merupakan simbol dari tempat suguhan manis terkemuka di Turki selama liburan tiga hari ini," imbuh Leyla.

 Baca Juga: Tradisi Ramadan dari Beragam Budaya di Seluruh Penjuru Dunia

 Baca Juga: Haq Al Laila, Tradisi Menyambut Ramadan yang Penuh Makna Kebersamaan

 Baca Juga: Wetu Telu dan Harmoni Lebaran Adat Sasak di Kaki Gunung Rinjani

Ya, bagi Ottoman, momen berlebaran tidak akan lepas dari ungkapan "manis", sebagaimana budaya mereka dalam merayakannya dengan Pesta Gula atau mengonsumsi makanan manis.

Momen hari raya Idulfitri juga ramai dengan perayaan yang berlangsung dalam suasana seperti karnaval dan parade baklava (suguhan manis) yang diarak oleh janissari—unit elit utama tentara Utsmaniyah—berkeliling kota.

bagian dalam dari Hagia Sophia, salah satu destinasi andalan Turki. Sejak 1935 hingga kini, Pemerintah Turki menjadikan Hagia Sophia sebagai museum. (Didi Kasim/National Geographic Indonesia )

Halaman masjid terbesar di Istanbul seperti Sultan Ahmet, Hagia Sophia, dan Eyüp Sultan akan menjadi tuan rumah pameran dan pekan raya selama momen lebaran di mana kios-kios akan menjual apa saja barang yang menarik untuk dibeli.

Berbagai dekorasi mewarnai hari raya seperti adanya pertunjukan lentera minyak berwarna-warni yang diadakan setelah salat magrib, di mana lentera akan dihias dan digantung di antara menara dan halaman masjid.

Namun, tradisi yang terus bertahan dan paling utama selama masa Ottoman, ialah memuliakan ibu atau orang yang lebih tua. Sultan sendiri akan memulai perayaan Idulfitri dengan mencium tangan ibunya dan membagikan uang saku kepada anak-anak dalam kantong kecil dekoratif.