Silaturahmi Belanda Saat Lebaran, Berujung Petaka bagi Dipanagara

By Galih Pranata, Senin, 2 Mei 2022 | 09:00 WIB
Lukisan karya Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro yang dilukis pada tahun 1857 berc (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id—Pemerintah Kolonial Belanda tak mau mengusik kekhidmatan Dipanagara dan pasukannya tatkala memasuki bulan suci Ramadan. Para menir membiarkan mereka dengan tidak merusak momentuk bulan puasa.

Sebelumnya, sejak Daendels berkuasa atas tanah Jawa, maka wilayah kekuasaan para raja Jawa, khususnya di Vorstenlanden (kawasan Yogyakarta hingga ke Surakarta) makin dipersempit.

"Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda atas bantuannya," tulis Kardiyat Wiharyanto, dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma dalam jurnalnya.

Kardiyat menulis dalam jurnal yang dipublikasi melalui Sumber Belajar SEAMOLEC yang berjudul "Perlawanan Indonesia Terhadap Belanda Pada Abad XIX" yang diterbitkan pada tahun 2011.

Di sisi lain, kewibawaan istana Mataram menjadi merosot karena Belanda yang kerap turut campur urusannya. Belum lagi budaya minum-minuman keras yang masuk ke dalam istana, membuat pertentangan di dalamnya.

Para pemuka agama tidak setuju dengan budaya Eropa yang masuk ke dalam keluhuran budaya keraton yang dikenal sebagai pusat peradaban Jawa. Muncullah sosok Dipanagara yang secara terang-terangan menentang Belanda.

Dipanagara dengan sejumlah pengikutnya telah menggerakkan perlawanan menentang Belanda, hingga pertempuran besar pun pecah di tahun 1825.

Hingga memasuki Ramadan di tahun 1830, di sekitar pegunungan Manoreh, Belanda memberi jarak kepada pasukan perlawanan sekaligus menandai liburnya Perang Jawa di bulan suci.

Peter Carey mengulas dalam bukunya berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro yang terbit pada 2014, menyebut bahwa sejak hari pertama di bulan Ramadan 1830 yang jatuh pada 25 Februari 1830, digunakan Diponegoro untuk beristirahat dari perang. 

Liburnya Perang Jawa agaknya membuat pasukan Dipanagara lengah dan melemah. Bahkan, secara ramah tamah, dokter militer dari garnisun Belanda memeriksa kondisi Dipanagara yang sakit akibat gejala malarianya kambuh.

Beberapa hari dari liburnya Perang Jawa, di pertengahan bulan Ramadan, Dipanagara berinsiasi untuk menemui Jenderal De Kock beserta dengan rombongan pasukan mudanya dalam jumlah besar.

Menariknya, saat kedua belah pihak saling bertemu, Peter Carey mengisahkan bahwa "de Kock dan Dipanagara saling cerita bertukar lelucon dan menemukan mata saat bertemu."

 

 Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur

 Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara

 Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan

Tidak ada perbincangan serius apalagi sampai harus menumpahkan darah, keduanya tampak saling bersahabat. Padahal, kalaupun mau, hari itu juga Dipanagara dapat ditangkap dengan mudah karena dianggap menyerahkan diri. Namun, De Kock tidak gegabah dan tak menginginkan adanya perlawanan yang lebih besar lagi.

Tampaknya, baik De Kock maupun Belanda-Belanda lainnya, menganggap penangkapan Dipanagara yang terlalu cepat bukanlah langkah bijak. Yang ada, nantinya mereka bisa saja mengamuk dan melakukan perlawanan lebih gencar lagi.

Selepas ramah tamah berlalu, De Kock mengirimkan utusan untuk turut dalam barisan pasukan Dipanagara yang bertugas sebagai mata-mata, ialah Tumenggung Mangunkusumo. 

Setelah dirasa kondisi mulai aman dan kondusif, De Kock mulai melancarkan misinya untuk mematahkan perlawanan, tatkala Dipanagara mempersiapkan diri bersiap merayakan hari raya lebaran.

Dua hari menjelang lebaran, ia mengirimkan utusan lainnya guna mempersiapkan serangkaian agenda penyergapan dan penangkapan terhadap Dipanagara. Dua utusan itu ialah Letkol du Perron dan Mayor AV Michels.

Perang Jawa sampai di Gawok, Sukoharjo, Jawa Tengah. (JP de Veer/Wikimedia)

Carey menyebut bahwa 27 maret adalah jatuhnya momen Idulfitri di tahun 1830, merupakan lebaran terakhir sang pangeran di tanah Jawa. Sehari setelahnya, De Kock melakukan pertemuan dengan Dipanagara, alasannya untuk bersilaturahmi.

Kala itu, Dipanagara tanpa pengawalan ketat, hanya didampingi ketiga putranya dan beberapa penasihat agama di sebelahnya. Tampaknya, pertemuan itu bukanlah sekadar silaturahmi biasa.

Dipanagara dibuat heran manakala pembahasan politik menjadi topik yang cukup berat di momen lebaran, suatu perbincangan yang kurang pas bagi Dipanagara yang masih merasakan suasana hari raya.

Benar saja, beberapa waktu kemudian, Dipanagara ternyata dikelabui dan ditangkap oleh para Belanda. Ia kemudian diasingkan ke Sulawesi sekaligus menandai berakhirnya Perang Jawa.