Perang mereka, menurut para antropolog, juga hampir selalu terkendali dan ritualistik. Kerumitan pakaian perang membenarkan fakta itu. Meskipun mengintimidasi, perlengkapan perang itu tidak praktis dalam pertempuran.
Antropolog Maurizio Ali memperkirakan bahwa dibutuhkan waktu hingga satu tahun dan ratusan buah kelapa untuk membuat satu set lengkap. Ini termasuk upaya terus-menerus untuk mempertahankannya. “Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa hanya satu atau dua orang dalam komunitas yang akan memiliki satu set lengkap,” ungkap Ali.
Setiap bagian dari baju perang I-Kiribati adalah objek yang bermuatan budaya dan spiritual yang unik. Baju perang itu menjadi aktualisasi dari kepercayaan dan tradisi lokal. Sayangnya, museum dan cendekiawan hanya mengetahui sedikit tentang koleksi mereka.
“Kolektor tidak terlalu memperhatikan faktor-faktor ini. Selain itu juga karena pengrajin I-Kiribati menjaga teknik dan kepercayaan komunitas dengan ketat,” tutur Hay. Orang luar jarang mengetahui rahasia makna di balik semua kerajinan I-Kiribati.
Karena keterbatasan informasi, sebagian besar kurator barat enggan berspekulasi tentang asal-usul dan arti perlengkapan perang I-Kiribati.
Mantra digunakan saat membuat te barantuati
Polly Bence, kurator The British Museum memaparkan tentang te barantauti dalam buku ‘Fighting Fibres’. Dalam bukunya ia menjelaskan, “Membuat helm tidak hanya membunuh ikan yang tepat dan menguburnya di pasir untuk mengeraskannya tetapi juga menggunakan mantra. Mantra digunakan agar mendapat perlindungan roh leluhur dan alam, serta kekuatan unik dari ikan itu sendiri. Penggunaan gigi hiu, dan kulit pari menunjukkan hubungan mereka dengan laut dan nenek moyangnya.”
Jika ikan buntal dipuja sebagai leluhur dan mewakili dunia roh, maka mungkin helm ini hanya diperuntukkan bagi uea (kepala suku). “Dikenakan untuk memberi pemakainya kekuatan laut,” tulis Bence.
Variasi dalam kepercayaan, ritual, dan praktik antar komunitas menyebabkan perbedaan di antara setiap barang.
“Setiap jahitan yang dijahit memiliki makna,” kata Rareti Ataniberu, seorang pengrajin wanita I-Kiribati. “Desain yang digunakan dalam baju perang harus hidup pada orang Kiribati.”
Te barantuati nyaris punah