Ulah Kolonialisme, Helm Perang Ikan Buntal I-Kiribati Nyaris Punah

By Sysilia Tanhati, Kamis, 5 Mei 2022 | 12:00 WIB
Kerumitannya membuat peneliti bertanya-tanya: apakah ini benar-benar digunakan untuk berperang? ( Reverend George Hubert Eastman/Museum of Archaeology and Anthropology, Cambridge)

Namun mengapa barang-barang yang penting dalam budaya, seperti te barantuati, bisa jatuh ke tangan orang asing?

Ali menjelaskan, ”Ini akibat kolonialisme. Campur tangan Barat mengganggu pola perdagangan lokal dan keseimbangan kekuasaaan, juga memperkenalkan senjata api. Semua ini mengubah sifat, skala, dan frekuensi konflik di wilayah tersebut. Itu mungkin menyebabkan produksi lebih banyak baju perang daripada sebelumnya. Kemudian, ketika kekuatan kolonial mengambil kendali langsung dan misionaris Kristen menjadi sangat berpengaruh di wilayah ini. Mereka melarang segala bentuk pertempuran lokal tradisional.”

Komunitas I-Kiribati secara historis menghargai objek hanya selama dapat digunakan, menurut Fighting Fibres. Jadi begitu pertempuran berhenti, produksi baju perang pun turun secara dramatis.

“Tidak ada lagi perang di Kiribati, antara prajurit Kiribati,” kata Ataniberu. “Jadi, hampir tidak ada lagi Kiribati yang tertarik untuk membuatnya.”

Banyak keluarga merasa sedikit menyesal karena memperdagangkan perlengkapan perang atau bahkan membuat baju perang baru untuk tujuan komersial daripada tujuan ritual.

Pembuat baju besi tradisional terakhir Kiribati menciptakan dua set terakhir, masing-masing dengan te barantauti, pada 1950-an. Kini te barantuati dan perlengkapan lain tinggal kenangan. Anda dapat menikmatinya di pusat budaya nasional, Te Umwanibong.

   

Baca Juga: Delapan Jenis Helm Perang Yunani Kuno: Kegel, Korintus, sampai Pilos

 Baca Juga: Netizen Singkap Pemandangan Bulan yang Terpantul di Helm Buzz Aldrin

 Baca Juga: Penampakan Baju Zirah Asal 2.700 Tahun di Makam Ksatria Tiongkok

 Baca Juga: Melihat Penampakan Baju Zirah Rantai Berusia 800 Tahun di Irlandia

  

Tetapi selama empat dekade terakhir, sejak Kiribati memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1979, baju perang tersebut memiliki makna baru. Perlengkapan perang menjadi simbol kuat budaya lokal. Bukan hanya bermanfaat sebagai pernak-pernik wisata, tetapi juga perangko dan maskot sekolah.

“Baju perang itu bukan hanya sekedar pakaian bagi kami,” kata Ataniberu. "Ini adalah karya seni, kerajinan."

Sekelompok seniman, penenun, dan peneliti bekerja sama untuk mengembangkan baju perang I-Kiribati yang lebih modern.

Hasilnya adalah Kautan Rabakau, sebuah persenjataan lengkap yang mencerminkan Kiribati modern. Alih-alih sabut kelapa, mereka menggunakan benang polietilena (PE) dari jaring ikan, benang sisal baler dan tali manila yang digunakan di perahu lokal. Sedangkan te barantauti masih dibuat dari ikan buntal, dengan cara kuno yang diketahui secara turun-temurun.

“Membuat baju perang itu seperti mengambil bagian dalam menghidupkan kembali budaya yang sekarat,” kata Ataniberu. Menurutnya, ia mengenang para leluhurnya ketika melakukan proyek ini.

“Saya merasa bangga menjadi bagian dari kebangkitan seni dan kerajinan ini,” ungkap Ataniberu.