Ulah Kolonialisme, Helm Perang Ikan Buntal I-Kiribati Nyaris Punah

By Sysilia Tanhati, Kamis, 5 Mei 2022 | 12:00 WIB
Kerumitannya membuat peneliti bertanya-tanya: apakah ini benar-benar digunakan untuk berperang? ( Reverend George Hubert Eastman/Museum of Archaeology and Anthropology, Cambridge)

Nationalgeographic.co.id—Isaac Brower, seorang ahli bedah dari Indiana, menghabiskan sebagian besar pertengahan abad ke-19 di Fiji. Ia melakukan tugas dari negaranya, Amerika Serikat, di wilayah itu. Seperti menjalankan perkebunan kapas dan menyapu bersih artefak lokal.

Menurut Stéphanie Leclerc-Caffarel, seorang peneliti di Musée du quai Branly di Paris yang sedang menulis buku tentangnya, Brower tidak pernah menginjakkan kaki di kepulauan Kiribati. Pulau ini terletak sekitar 2.000 kilometer dari Fiji. Namun Brower diketahui memperoleh te barantauti, sejenis helm unik khas kepulauan itu.

Te barantauti terbuat dari ikan buntal kering dengan lapisan anyaman sabut kelapa dan rambut manusia. Menurut Mark Hay dilansir dari laman Atlas Obscura, “Helm ini adalah ‘barang panas’. Biasa diselundupkan oleh pejabat, pedagang, pemburu, ilmuwan, bahkan awal kapal.”

“Helm ini adalah objek dari Pasifik yang ikonik,” kata kurator Smithsonian Joshua Bell, “barang-barang prestisius—unik, indah secara teknis, dan menakjubkan secara visual—untuk koleksi mereka.”

Selama bertahun-tahun lusinan helm ini masuk ke museum di seluruh dunia, tragisnya, hanya sedikit yang tersisa di Kiribati.

Hanya sedikit informasi yang diperoleh tentang te barantuati

Di abad ke-19, seorang kolektor bukanlah pencatat yang teliti, sehingga hanya sedikit institusi yang mengetahui tentang bagaimana dan mengapa helm ini diperoleh.

Faktanya, Museum Pitt Rivers di Oxford hanya memiliki sedikit informasi tentang pembuatan dan fungsi keempat helm koleksinya. Seorang peneliti bernama Andy Mills mencatat: “Dalam keadaan hidup, ikan ini sangat beracun. Meski begitu, saya belum menemukan bukti bahwa racun itu dianggap bermanfaat dalam pertempuran.”  

Namun, foto pria I-Kiribati yang mengenakan helm, catatan, dan koleksi museum menunjukkan bahwa ini bagian dari tradisi persenjataan yang unik di pulau-pulau tersebut.

Sejak lama orang luar berasumsi bahwa I-Kiribati mengembangkan helm dan bajunya karena mereka sangat suka berperang. Mereka juga dianggap kekurangan sumber daya sehingga harus mengusahakannya.

Apakah orang I-Kiribati suka berperang?

I-Kiribati juga membuat tombak, pedang, dan bahkan kemoceng dari bahan seperti gigi hiu dan duri ikan pari. Tetapi tidak ada bukti bahwa sangat sering berperang meski dilengkapi dengan kostum rumit.

Perang mereka, menurut para antropolog, juga hampir selalu terkendali dan ritualistik. Kerumitan pakaian perang membenarkan fakta itu. Meskipun mengintimidasi, perlengkapan perang itu tidak praktis dalam pertempuran.

Antropolog Maurizio Ali memperkirakan bahwa dibutuhkan waktu hingga satu tahun dan ratusan buah kelapa untuk membuat satu set lengkap. Ini termasuk upaya terus-menerus untuk mempertahankannya. “Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa hanya satu atau dua orang dalam komunitas yang akan memiliki satu set lengkap,” ungkap Ali.

Setiap bagian dari baju perang I-Kiribati adalah objek yang bermuatan budaya dan spiritual yang unik. Baju perang itu menjadi aktualisasi dari kepercayaan dan tradisi lokal. Sayangnya, museum dan cendekiawan hanya mengetahui sedikit tentang koleksi mereka.

“Kolektor tidak terlalu memperhatikan faktor-faktor ini. Selain itu juga karena pengrajin I-Kiribati menjaga teknik dan kepercayaan komunitas dengan ketat,” tutur Hay. Orang luar jarang mengetahui rahasia makna di balik semua kerajinan I-Kiribati.

Karena keterbatasan informasi, sebagian besar kurator barat enggan berspekulasi tentang asal-usul dan arti perlengkapan perang I-Kiribati.

Mantra digunakan saat membuat te barantuati

Polly Bence, kurator The British Museum memaparkan tentang te barantauti dalam buku ‘Fighting Fibres’. Dalam bukunya ia menjelaskan, “Membuat helm tidak hanya membunuh ikan yang tepat dan menguburnya di pasir untuk mengeraskannya tetapi juga menggunakan mantra. Mantra digunakan agar mendapat perlindungan roh leluhur dan alam, serta kekuatan unik dari ikan itu sendiri. Penggunaan gigi hiu, dan kulit pari menunjukkan hubungan mereka dengan laut dan nenek moyangnya.”

Untuk membuat te barantuati, dibutuhkan waktu setahun dan ratusan kelapa. (Museum of Ethnography, Stockholm)

Jika ikan buntal dipuja sebagai leluhur dan mewakili dunia roh, maka mungkin helm ini hanya diperuntukkan bagi uea (kepala suku). “Dikenakan untuk memberi pemakainya kekuatan laut,” tulis Bence.

Variasi dalam kepercayaan, ritual, dan praktik antar komunitas menyebabkan perbedaan di antara setiap barang.

“Setiap jahitan yang dijahit memiliki makna,” kata Rareti Ataniberu, seorang pengrajin wanita I-Kiribati. “Desain yang digunakan dalam baju perang harus hidup pada orang Kiribati.”

Te barantuati nyaris punah

Namun mengapa barang-barang yang penting dalam budaya, seperti te barantuati, bisa jatuh ke tangan orang asing?

Ali menjelaskan, ”Ini akibat kolonialisme. Campur tangan Barat mengganggu pola perdagangan lokal dan keseimbangan kekuasaaan, juga memperkenalkan senjata api. Semua ini mengubah sifat, skala, dan frekuensi konflik di wilayah tersebut. Itu mungkin menyebabkan produksi lebih banyak baju perang daripada sebelumnya. Kemudian, ketika kekuatan kolonial mengambil kendali langsung dan misionaris Kristen menjadi sangat berpengaruh di wilayah ini. Mereka melarang segala bentuk pertempuran lokal tradisional.”

Komunitas I-Kiribati secara historis menghargai objek hanya selama dapat digunakan, menurut Fighting Fibres. Jadi begitu pertempuran berhenti, produksi baju perang pun turun secara dramatis.

“Tidak ada lagi perang di Kiribati, antara prajurit Kiribati,” kata Ataniberu. “Jadi, hampir tidak ada lagi Kiribati yang tertarik untuk membuatnya.”

Banyak keluarga merasa sedikit menyesal karena memperdagangkan perlengkapan perang atau bahkan membuat baju perang baru untuk tujuan komersial daripada tujuan ritual.

Pembuat baju besi tradisional terakhir Kiribati menciptakan dua set terakhir, masing-masing dengan te barantauti, pada 1950-an. Kini te barantuati dan perlengkapan lain tinggal kenangan. Anda dapat menikmatinya di pusat budaya nasional, Te Umwanibong.

   

Baca Juga: Delapan Jenis Helm Perang Yunani Kuno: Kegel, Korintus, sampai Pilos

 Baca Juga: Netizen Singkap Pemandangan Bulan yang Terpantul di Helm Buzz Aldrin

 Baca Juga: Penampakan Baju Zirah Asal 2.700 Tahun di Makam Ksatria Tiongkok

 Baca Juga: Melihat Penampakan Baju Zirah Rantai Berusia 800 Tahun di Irlandia

  

Tetapi selama empat dekade terakhir, sejak Kiribati memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1979, baju perang tersebut memiliki makna baru. Perlengkapan perang menjadi simbol kuat budaya lokal. Bukan hanya bermanfaat sebagai pernak-pernik wisata, tetapi juga perangko dan maskot sekolah.

“Baju perang itu bukan hanya sekedar pakaian bagi kami,” kata Ataniberu. "Ini adalah karya seni, kerajinan."

Sekelompok seniman, penenun, dan peneliti bekerja sama untuk mengembangkan baju perang I-Kiribati yang lebih modern.

Hasilnya adalah Kautan Rabakau, sebuah persenjataan lengkap yang mencerminkan Kiribati modern. Alih-alih sabut kelapa, mereka menggunakan benang polietilena (PE) dari jaring ikan, benang sisal baler dan tali manila yang digunakan di perahu lokal. Sedangkan te barantauti masih dibuat dari ikan buntal, dengan cara kuno yang diketahui secara turun-temurun.

“Membuat baju perang itu seperti mengambil bagian dalam menghidupkan kembali budaya yang sekarat,” kata Ataniberu. Menurutnya, ia mengenang para leluhurnya ketika melakukan proyek ini.

“Saya merasa bangga menjadi bagian dari kebangkitan seni dan kerajinan ini,” ungkap Ataniberu.