Empat puluh, lima puluh, seratus kali sehari mereka turun ke dasar laut, hingga 20 meter dalamnya, tanpa kacamata renang dan biasanya hanya memakai kain tenun tipis untuk melindungi diri dari sengatan ubur-ubur. Ada yang mati akibat serangan ikan pari, duri ikan lepuh batu yang beracun, gigitan hiu. Ada yang matanya diserang ikan giru. Ada yang gendang telinganya pecah, dan ada yang buta akibat sering terpapar air asin.

Zaman dulu, mutiara bagaikan berlian. Pada masa Hafiz, mutiara adalah sumber daya paling berharga di Teluk Persia, dan 70.000 orang terlibat dalam mengumpulkannya. Tetapi, para penyelam tidak banyak mencicipi kekayaan yang mereka bawa ke permukaan. Tiram dilempar ke tumpukan, baru dibuka esok harinya, setelah mati. Sekalipun seorang penyelam mengambil mutiara sebesar cerita Steinbeck, ia tak akan tahu. Utang yang mendorong mereka menyelam. Utang yang diwarisi dari ayah mereka dan dari kakek mereka.
Namun, berburu mutiara juga merupakan kebanggaan budaya yang mendalam, bagian dari tradisi kelautan yang “sama Arab-nya” dengan gurun pasir dan kurma. Melalui perairan Teluk Persia, Timur bertemu Barat, kekayaan Afrika dan India mengalir ke berbagai kerajaan Eropa. Hingga 1930-an, perahu-perahu dhow besar dari Kuwait, dengan nama seperti The Triumph of Righteousness dan The Light of the Earth and Sea, memasang layar lete untuk angin timur laut yang meniupnya ke Zanzibar dan Mangalore. Berbulan-bulan kemudian, angin khareef membawa mereka pulang. Fluktuasi musiman angin merupakan bahan bakar perdagangan Arab.
Lalu datanglah minyak, dan cara hidup melaut yang telah bertahan selama ribuan tahun pun sirna. Minyak bumi ibarat jin yang mengabulkan keinginan modernisasi dan kekayaan. Arab pun berubah—dari unta menjadi Cadillac, rumah lumpur menjadi mal raksasa—sementara warganya naik karpet ajaib dari kekayaan minyak.
Kini tangan manusia meraih dalam-dalam di laut-laut Arab dan mengambil harta lebih banyak daripada yang dapat dipulihkan oleh laut. Penangkapan ikan berlebih, pencemaran, pengeruk dasar laut, dan modifikasi pesisir besar-besaran melumpuhkan ekosistem laut dengan merusak kualitas air dan memperparah pertumbuhan ganggang beracun.
Pada 2010, sekelompok ilmuwan kelautan menggambarkan perairan paling strategis di wilayah itu, Teluk Persia, sebagai “laut yang semakin rusak,” diterpa oleh badai pengaruh yang jahat. “Jika kecenderungan ini berlanjut,” tulis mereka, kita akan “kehilangan lingkungan laut yang unik.”
Salah satu kelompok yang paling terancam adalah hiu. Di antara semua serangan terhadap kehidupan laut Arab, yang paling mengerikan adalah gunung-gunung bangkai hiu yang tiba setiap malam di Pasar Ikan Deira di Dubai, diangkut truk dari tempat pengumpulan ikan di seluruh Oman dan Uni Emirat Arab, dari sana lalu ke timur—gelombang ikan dan daging yang bau.
Rima Jabado, yang tampak mencolok dengan sepatu bot karet kuning dan atasan jambon, menembus pasar sambil menghitung dan mengukur hiu martil, hiu monyet, hiu buas, hiu lonjor, dan hiu tenggiri: ikan ras dari lautan Arab, diangkut ke sini untuk dijagal seperti daging kuda.
Hewan khas ini, yang dimimpikan para penyelam untuk bertemu di laut, diturunkan dari bak truk dengan kait daging dan dijejerkan di trotoar, kotor dan berdarah, baris demi baris mulut yang cemberut.