Laut-Laut Arab: Pujangga Menyanjung, Pengusaha Menguras, Aktivis Melestarikannya

By National Geographic Indonesia, Selasa, 10 Mei 2022 | 17:00 WIB
Sebuah peninggalan perang Iran-Irak, kapal tanker minyak ini ditenggelamkan di dekat perbatasan Kuwait-Irak atas perintah Saddam Hussein, untuk memblokir akses melalui laut ke Irak selatan. Pihak berwenang Kuwait enggan memindahkan kapal itu karena takut merusak lahan basah di dekat Pulau Bubiyan. (Thomas P. Peschak/National Geographic)

Si pelelang menyusuri barisan itu, diikuti rombongan pembeli yang menghitung margin laba pada ponsel cerdas masing-masing. Di belakang mereka seorang lelaki dengan cekatan menyayat sirip dan meletakkannya di terpal plastik untuk dijual terpisah. Truk pikap datang dan parkir, lalu sopirnya menurunkan selusin karung berisi sirip kering. Ia merogoh karung dan mengeluarkan segenggam segitiga abu-abu kecil, kaku seperti kayu. Pasti ada beberapa ribu sirip dalam satu pengiriman ini.

“Ketika saya pertama bekerja di sini, saya pikir, hiunya banyak sekali,” kata Jabado, mahasiswa S-2 di United Arab Emirates University. “Tapi kalau melihatnya setiap hari, kita bertanya, Bagaimana mungkin? Bagaimana ini bisa langgeng?”

Muazin mengumandangkan azan magrib dari masjid yang menaranya membentuk siluet indah dengan latar langit keemasan. Di seberang tempat parkir, pasar ikan dipadati ibu-ibu rumah tangga yang menyusuri gang-gang pasar nan sesak, menyerahkan belanjaan kepada anak-anak Pakistan yang mendorong gerobak kebun ke SUV yang berjejer.

Penyu tempayan mendayung ke ombak Pulau Masira Oman. Pulau ini merupakan tempat berkembang biak yang penting bagi spesies yang terancam punah ini. Saat penyu kembali ke laut, mereka harus menghindari jaring-jaring perangkap ikan. (Thomas P. Peschak/National Geographic)

Nama lama untuk bagian Arab ini adalah Pantai Perompak. Dulu kapal dagang membawa pasukan pemanah untuk menghalau pencuri. Tapi bagaimana cara melawan penjarahan terhadap laut itu sendiri? Jabado menyusuri sepanjang pesisir UEA, dari Abu Dhabi hingga Ras al Khaimah, menghitung hiu dan mewawancarai nelayan. Di mana-mana ceritanya sama: Jumlah tangkapan menurun, dan intensitas penangkapan naik.

Salah satu hal yang ditanyakan Jabado kepada nelayan, apakah menurut mereka sebaiknya hiu dilindungi. Sebagian menjawab, Tidak, mengapa harus dilindungi? Hiu adalah karunia dari Tuhan, Dia akan memulihkannya. Sebagian menjawab, hiu perlu dilindungi, tetapi harus dilakukan di seluruh wilayah. Kalau dilindungi di sini, apa Anda pikir orang Iran akan berhenti menangkapnya? kata mereka. Mengapa saya harus berhenti menangkap hiu dan kehilangan pendapatan kalau ada orang lain yang terus menangkap ikan-ikan itu?

Teluk itu berbatasan dengan delapan negara. “Mereka memiliki budaya dan warisan yang serupa, sebagian besar berbahasa sama, menghadapi masalah yang sama, dan berbagi sumber daya yang sama,” kata Jabado. “Mengapa mereka tidak bekerja sama?”

Seekor sotong firaun mengeluarkan segumpal tinta saat ditikam oleh seorang penyelam di Cagar Alam Kepulauan Daymaniyat, tidak jauh dari ibu kota Oman, Muscat. Penangkapan ikan dengan jaring di terumbu karang yang dilindungi ini dilarang, tetapi metode lain diperbolehkan, termasuk penggunaan kail. (Thomas P. Peschak/National Geographic)

Kekhawatiran Jabado lebih mendalam dari­pada pengelolaan perikanan. Di perairan yang begitu dangkal dan tertutup, dampak bencana lingkungan terlalu mengerikan untuk di­bayangkan. Di teluk ini terdapat ratusan anjungan minyak bumi dan gas, dan puluhan ribu pergerakan kapal tanker per tahun melalui Selat Hormuz yang sempit di antara Semenanjung Musandam dan Iran.

“Bagaimana andai di sini terjadi bencana seperti kapal Deepwater Horizon?” tanyanya. “Kedalaman rata-rata teluk ini sekitar 30 meter. Satu tumpahan besar dapat memusnahkan seluruh ekosistem laut.

Ada tanda-tanda bahwa pendekatan terpadu yang dicari Jabado mungkin mulai terbentuk. Beberapa negara sedang mempertimbangkan meneladani Uni Emirat Arab untuk memberi perlindungan hukum kepada satu spesies hiu: hiu paus atau gurano, ikan terbesar di laut. Raksasa yang makan dengan menyaring air ini bermunculan di tempat-tempat tak terduga.

Burung kormoran Socotra remaja menemukan tempat istirahat yang sempit di bawah tebing Semenanjung Musandam Oman. Lama dikenal sebagai kepala landasan, Musandam dipromosikan hari ini sebagai Norwegia Arab karena ceruknya yang dalam menyerupai fjord. (Thomas P. Peschak/National Geographic)