Laut-Laut Arab: Pujangga Menyanjung, Pengusaha Menguras, Aktivis Melestarikannya

By National Geographic Indonesia, Selasa, 10 Mei 2022 | 17:00 WIB
Sebuah peninggalan perang Iran-Irak, kapal tanker minyak ini ditenggelamkan di dekat perbatasan Kuwait-Irak atas perintah Saddam Hussein, untuk memblokir akses melalui laut ke Irak selatan. Pihak berwenang Kuwait enggan memindahkan kapal itu karena takut merusak lahan basah di dekat Pulau Bubiyan. (Thomas P. Peschak/National Geographic)

Pada 2009, David Robinson, peneliti gurano yang tinggal di Dubai, terkejut ketika pencarian gambar Google memunculkan foto sekawanan gurano berenang di antara anjungan Al Shaheen, ladang utama migas di lepas pantai Qatar.

“Foto itu dipajang di halaman Facebook seorang buruh di anjungan gas,” kata Robinson. “Saya mengiriminya pesan, dia menambahkan saya sebagai teman, dan sekarang kami mendapat aliran gambar darinya dan beberapa orang lain. Dalam salah satu foto, saya menghitung ada 150 hewan. Saya ingin bilang bahwa kami menemukan gurano itu dengan menyisir laut tanpa lelah, tetapi itu bohong. Sebenarnya, dengan menyisir lautan dunia maya! Sains dengan Facebook—agak memalukan juga.”

Penangkapan ikan di sepanjang pantai Oman. Tangkapan harian hiu dan ikan lainnya dibekukan dan dimuat ke truk yang menuju Dubai. Beberapa ilmuwan khawatir bahwa permintaan Asia akan sirip hiu dapat menghancurkan populasi lokal tertentu, termasuk hiu martil, banteng, dan sirip hitam. (Thomas P. Peschak/National Geographic)

Semangat membela laut tampaknya tumbuh di seluruh wilayah ini. Di Kuwait ratusan penyelam amatir bersemangat membentuk tim ekologi setangguh tim SWAT, berdedikasi memperbaiki kerusakan lingkungan akibat perang dan limbah. Mereka mengangkat kapal karam dari dasar laut dan menyingkirkan berton-ton jaring yang terjerat dari terumbu karang Kuwait.

Di lepas pantai Qaruh, saya membantu memotong jaring yang melilit tonjolan rapuh pada karang bercabang Akropora—jaring benang nilon yang kusut parah, yang akhirnya mengalah pada koleksi pisau dapur dan gunting tanaman kami.

    

Baca Juga: Tempat-tempat Terliar dan Terindah di Pakistan

Baca Juga: Manusia Modern Hijrah dari Afrika ke Asia Lewat Jalur Utara dan Selatan Jazirah Arab

Baca Juga: Al Naslaa: Formasi Batu Misterius yang Terbelah Sempurna di Arab Saudi

Baca Juga: Praktik Peternakan Domba Arab Kuno Terungkap Berkat Mumi Domba

   

Tim tukang servis terumbu kami yang gado-gado ini mencakup insinyur komputer, produser televisi, dan mantan pemimpin Masjid Agung di Kuwait.

Dalam perjalanan pulang, saat melintasi laut kuning kecokelatan yang mulus, dengan badai debu bertiup di cakrawala, dua orang anggota tim menyisihkan tempat di antara peralatan skuba di geladak untuk salat. Tanpa menghiraukan gemuruh merdu motor tempel kembar 200 tenaga kuda, mereka bersujud dan melafalkan ayat-ayat suci, menyuarakan harapan agar  kebaikan datang ke dunia.

Ikan arabian surgeon—dinamai dari sepasang 'pisau bedah' berwarna jingga yang tajam di dekat ekornya—berburu untuk menguasai wilayah di terumbu karang di Laut Merah. Selama pertempuran mereka saling melemparkan diri, mencoba menebas sirip atau sayap. (Thomas P. Peschak/National Geographic)

Di ujung lain Teluk Persia, di Dubai, pe­ngunjung pantai yang peduli lingkungan me­­ngumpulkan penyu yang terdampar dan mem­­bawanya ke fasilitas rehabilitasi di hotel Burj al Arab yang mewah. Pada tahun 2011, 350 penyu remaja diserahkan, kebanyakan korban “cold stunning”—kelembaman akibat turunnya suhu laut saat musim dingin.

“Jika berhasil ber­­tahan hidup dalam 24 jam pertama, ada peluang 99 persen penyu itu akan pulih,” kata Warren Baverstock, manajer operasi akuarium. “Mereka selalu tahu letak laut,” katanya. “Mereka berenang di dekat dinding yang terdekat dengan laut, mengangkat kepala, mencarinya.”

Pelepasan massal kura-kura hasil rehabi­li­tasi di­lakukan di pantai terdekat untuk me­mubli­k­asi­kan pekerjaan itu dan memperkuat pesan bahwa kehidupan laut Arab itu berharga, rapuh, dan perlu perlindungan. Setiap penyu ditanami mikrocip untuk identifikasi. Selama tujuh tahun proyek ini dijalankan, belum ada penyu yang terdampar dua kali.

Sangat berbisa—tetapi tidak agresif terhadap manusia—ular laut biasa ditemukan di perairan dangkal Teluk Persia. Mereka memakan ikan kecil seperti ikan gobi, terkadang memasuki liang mereka di dasar laut untuk menangkap penghuninya. Ular laut dapat bertahan di bawah air hingga dua jam. (Thomas P. Peschak/National Geographic)

Pasien hotel yang paling terkenal adalah penyu-agar dewasa bernama Dibba, yang datang dengan tengkorak retak. Baverstock dan timnya perlu waktu 18 bulan untuk merehabilitasinya, tetapi Dibba, yang dilepaskan dengan cangkang ditempeli pemancar satelit, membalas budi para perawatnya dengan perjalanan migrasi 8.000 kilometer selama 259 hari, melingkari Laut Arab ke selatan, melewati Maladewa, mengitari Sri­langka, dan mencapai hingga Kepulauan Andaman sebelum baterai pemancar itu mati.

Dibba mengikuti rute purba yang tertanam tak hanya pada penyu, tetapi juga ingatan bu­daya semua masyarakat Arab. Melalui rute itu pula perahu dhow berlayar, mengangkut mutiara dan kurma Basra. Melalui rute itu semuanya pulang, membawa kamper, sutra, kayu cendana, dan cengkeh. Dalam setiap keluarga Arab ada kapten dan pelaut, penyelam mutiara dan tukang kayu perahu.

Modernisasi telah meredupkan ingatan itu. “Kami tak lagi merasa haus akan lautan, haus yang hanya dapat diusir dengan melaut,” kata seorang pebisnis Oman, sedih. Namun, bagi beberapa orang Arab, dahaga itu masih ada. Mereka memperbarui pertalian dengan pantai purba dan menemukan kembali sang pujangga: “Di kedalamanku berdiam semua harta.”