Pada 2009, David Robinson, peneliti gurano yang tinggal di Dubai, terkejut ketika pencarian gambar Google memunculkan foto sekawanan gurano berenang di antara anjungan Al Shaheen, ladang utama migas di lepas pantai Qatar.
“Foto itu dipajang di halaman Facebook seorang buruh di anjungan gas,” kata Robinson. “Saya mengiriminya pesan, dia menambahkan saya sebagai teman, dan sekarang kami mendapat aliran gambar darinya dan beberapa orang lain. Dalam salah satu foto, saya menghitung ada 150 hewan. Saya ingin bilang bahwa kami menemukan gurano itu dengan menyisir laut tanpa lelah, tetapi itu bohong. Sebenarnya, dengan menyisir lautan dunia maya! Sains dengan Facebook—agak memalukan juga.”

Semangat membela laut tampaknya tumbuh di seluruh wilayah ini. Di Kuwait ratusan penyelam amatir bersemangat membentuk tim ekologi setangguh tim SWAT, berdedikasi memperbaiki kerusakan lingkungan akibat perang dan limbah. Mereka mengangkat kapal karam dari dasar laut dan menyingkirkan berton-ton jaring yang terjerat dari terumbu karang Kuwait.
Di lepas pantai Qaruh, saya membantu memotong jaring yang melilit tonjolan rapuh pada karang bercabang Akropora—jaring benang nilon yang kusut parah, yang akhirnya mengalah pada koleksi pisau dapur dan gunting tanaman kami.
Baca Juga: Tempat-tempat Terliar dan Terindah di Pakistan
Baca Juga: Manusia Modern Hijrah dari Afrika ke Asia Lewat Jalur Utara dan Selatan Jazirah Arab
Baca Juga: Al Naslaa: Formasi Batu Misterius yang Terbelah Sempurna di Arab Saudi
Baca Juga: Praktik Peternakan Domba Arab Kuno Terungkap Berkat Mumi Domba
Tim tukang servis terumbu kami yang gado-gado ini mencakup insinyur komputer, produser televisi, dan mantan pemimpin Masjid Agung di Kuwait.
Dalam perjalanan pulang, saat melintasi laut kuning kecokelatan yang mulus, dengan badai debu bertiup di cakrawala, dua orang anggota tim menyisihkan tempat di antara peralatan skuba di geladak untuk salat. Tanpa menghiraukan gemuruh merdu motor tempel kembar 200 tenaga kuda, mereka bersujud dan melafalkan ayat-ayat suci, menyuarakan harapan agar kebaikan datang ke dunia.
Di ujung lain Teluk Persia, di Dubai, pengunjung pantai yang peduli lingkungan mengumpulkan penyu yang terdampar dan membawanya ke fasilitas rehabilitasi di hotel Burj al Arab yang mewah. Pada tahun 2011, 350 penyu remaja diserahkan, kebanyakan korban “cold stunning”—kelembaman akibat turunnya suhu laut saat musim dingin.
“Jika berhasil bertahan hidup dalam 24 jam pertama, ada peluang 99 persen penyu itu akan pulih,” kata Warren Baverstock, manajer operasi akuarium. “Mereka selalu tahu letak laut,” katanya. “Mereka berenang di dekat dinding yang terdekat dengan laut, mengangkat kepala, mencarinya.”
Pelepasan massal kura-kura hasil rehabilitasi dilakukan di pantai terdekat untuk memublikasikan pekerjaan itu dan memperkuat pesan bahwa kehidupan laut Arab itu berharga, rapuh, dan perlu perlindungan. Setiap penyu ditanami mikrocip untuk identifikasi. Selama tujuh tahun proyek ini dijalankan, belum ada penyu yang terdampar dua kali.
Pasien hotel yang paling terkenal adalah penyu-agar dewasa bernama Dibba, yang datang dengan tengkorak retak. Baverstock dan timnya perlu waktu 18 bulan untuk merehabilitasinya, tetapi Dibba, yang dilepaskan dengan cangkang ditempeli pemancar satelit, membalas budi para perawatnya dengan perjalanan migrasi 8.000 kilometer selama 259 hari, melingkari Laut Arab ke selatan, melewati Maladewa, mengitari Srilangka, dan mencapai hingga Kepulauan Andaman sebelum baterai pemancar itu mati.
Dibba mengikuti rute purba yang tertanam tak hanya pada penyu, tetapi juga ingatan budaya semua masyarakat Arab. Melalui rute itu pula perahu dhow berlayar, mengangkut mutiara dan kurma Basra. Melalui rute itu semuanya pulang, membawa kamper, sutra, kayu cendana, dan cengkeh. Dalam setiap keluarga Arab ada kapten dan pelaut, penyelam mutiara dan tukang kayu perahu.
Modernisasi telah meredupkan ingatan itu. “Kami tak lagi merasa haus akan lautan, haus yang hanya dapat diusir dengan melaut,” kata seorang pebisnis Oman, sedih. Namun, bagi beberapa orang Arab, dahaga itu masih ada. Mereka memperbarui pertalian dengan pantai purba dan menemukan kembali sang pujangga: “Di kedalamanku berdiam semua harta.”