Sebagai bagian dari program transmigrasi yang telah berjalan lama di Indonesia, sekitar 40.000 petani Jawa dan Bali masing-masing diberi 2,5 hektar lahan untuk mengubah tanah gambut yang dalam dan asam menjadi ladang pertanian yang subur untuk penanaman padi basah.
Pada akhir tahun 1997, setelah satu tahun kekeringan yang disebabkan oleh siklus El Niño/Osilasi Selatan yang kuat, kebakaran mulai membakar di bawah tanah, melalui tanah gambut itu sendiri.
"Tanah gambut tropis adalah bahan organik yang mudah menguap yang terdiri dari batang pohon, daun, dan akar yang membusuk," terus Goldstein lagi.
Karbon sangat terkonsentrasi di tanah gambut dan relatif stabil jika tanahnya jenuh dengan air. Tetapi ketika lahan gambut tropis dikeringkan di area hidrologis yang luas, seperti pada Proyek Beras Mega, tanah mengalami oksidasi biogeokimia yang cepat, mengeluarkan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer.
Proyek ini sekarang disebut sebagai salah satu bencana lingkungan terbesar dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena memungkinkan kebakaran gambut besar-besaran, tetapi juga karena proyek tersebut—yang bertujuan untuk penanaman padi beririgasi skala besar di rawa gambut—malah menciptakan kelangkaan beras.