Sisi Gelap Tarian Ronggeng di Perkebunan Subang Awal Abad Ke-20

By Galih Pranata, Kamis, 12 Mei 2022 | 09:00 WIB
Cuplikan dalam film 'Sang Penari' yang didasarkan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari. (Sang Penari/Hotstar)

Selama hiburan berlangsung, para penonton dapat meminta lagu kepada wanita ronggeng. Begitu juga, para wanita penari ronggeng dapat diajak ke luar arena pertunjukan oleh pasangan menarinya ke tempat yang gelap untuk bercengkerama.

Beberapa saat kemudian ronggeng kembali ke arena pertunjukan. Ia menyimpan uang pemberian penggemarnya ke dalam peti dekat panjak (pemain musik).

Ronggeng menari kembali sambil menunggu pasangan berikutnya yang menari bersamanya. Pertunjukan sering berakhir hingga dini hari, yang akan berakhir tatkala para penanggapnya kelelahan atau mulai kehabisan uang.

  

Baca Juga: Tradisi Kesenian Ronggeng Pangandaran yang Berjuang Menantang Zaman

Baca Juga: Kucumbu Alam Indahku, Eksplorasi Gerak Ala Rianto

Baca Juga: Tari Dolalak, Bentuk Perlawanan Pribumi Terhadap Kolonial Belanda

Baca Juga: Eksistensi Tarian Merawai Orang Laut Pulau Lipan Diambang Kepunahan

  

Meski mendatangkan antusiasme masyarakat, namun "bagi pemerintah, pesta ronggeng di perkebunan cukup merepotkan karena terjadi kriminalitas yang menyertainya," jelas Imadudin.

Demi ronggeng, para buruh rela menghabiskan seluruh uang hasil jerih payahnya selama bekerja hanya untuk perempuan malam. Uang habis karena kebiasaan minuman keras, berjudi, dan mengisap candu.

"Ongkos yang harus dikeluarkan buruh untuk menikmati hiburan tersebut tidaklah kecil. Para buruh akan menghabiskan gaji mingguannya," terangnya.

Karena munculnya dampak buruk, pemerintah Hindia Belanda akhirnya melarang dengan keras pesta ronggeng pada 1880. Meski pada akhirnya, pada 1881 larangan tersebut melonggar.