Sisi Gelap Tarian Ronggeng di Perkebunan Subang Awal Abad Ke-20

By Galih Pranata, Kamis, 12 Mei 2022 | 09:00 WIB
Cuplikan dalam film 'Sang Penari' yang didasarkan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari. (Sang Penari/Hotstar)

Nationalgeographic.co.id—Penari Ronggeng mulai diperkenalkan oleh menir perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P en T Lands). Mereka bertugas sebagai media penghibur bagi pegawai perkebunan yang kebanyakan merupakan rakyat Subang.

"Para tuan tanah menyelenggarakan hiburan bagi para buruhnya yang biasanya bertempat di lokasi kebun atau pemukiman para buruh," tulis Iim Imadudin dalam jurnalnya.

Imadudin menulis dalam jurnal Patanjala yang berjudul Dampak Kapitalisme Perkebunan Terhadap Perubahan Kebudayaan Masyarakat di Kawasan Subang 1920-1930 yang dipublikasi pada 2014.

Sebelum digelar secara terbuka, gedung societeit yang dibangun pada masa PW. Hofland, dipilih sebagai tempat bersosialisasi sekaligus hiburan. Tempat orang-orang melantai dansa, bernyanyi, bermain biliar, dan segala kesenangan duniawi lainnya.

Kebanyakan penggunanya adalah orang-orang Subang yang bekerja untuk perkebunan Belanda. Bagi pegawai onderneming memang disiapkan hiburan mulai dari selepas jam kerja hingga malam hari.

Perkembangan hiburan rakyat di wilayah perkebunan, menumbuhkan ketertarikan tuan tanah Eropa terhadap kesenian Sunda. Bahkan, mereka menjadi pengayom kesenian di lingkungan perkebunan.

Dalam kisah perjalanan Jan ten Brink dalam buku berjudul Drie Reisschetsen (1894), diceritakan bahwa para tamu yang datang ke tanah P en T Lands disambut dengan kemeriahan berupa alunan gamelan dan tarian-tarian.

Dalam jangka waktu yang cukup lama, pihak perkebunan mengontrak para pemain dan penari doger kontrak untuk menghibur para buruh.

Doger kontrak berisi para perempuan penghibur. Mereka didatangkan dari pesisir utara Jawa, Pamanukan dan Semarang, yang ditampung di sebuah rumah khusus.

Dari penamaannya, doger atau dombret berasal dari kata ngadog-dog-an anu beger (mengiringi yang tengah gandrung). Doger yang sering disebut dalam bahasa Belanda sebagai Javaansche rongging (ronggeng Jawa), bertujuan menghibur sekaligus memberi kesenangan pada para buruh.

Grup kesenian Ronggeng (sekitar 1870). (Woodbury & Page/Wikimedia)

Seni Ronggeng berisikan para penari wanita yang memiliki kemampuan menyanyi dan menari. Kesenian ini dipertunjukkan di arena terbuka yang jauh dari rumah penduduk.

Selama hiburan berlangsung, para penonton dapat meminta lagu kepada wanita ronggeng. Begitu juga, para wanita penari ronggeng dapat diajak ke luar arena pertunjukan oleh pasangan menarinya ke tempat yang gelap untuk bercengkerama.

Beberapa saat kemudian ronggeng kembali ke arena pertunjukan. Ia menyimpan uang pemberian penggemarnya ke dalam peti dekat panjak (pemain musik).

Ronggeng menari kembali sambil menunggu pasangan berikutnya yang menari bersamanya. Pertunjukan sering berakhir hingga dini hari, yang akan berakhir tatkala para penanggapnya kelelahan atau mulai kehabisan uang.

  

Baca Juga: Tradisi Kesenian Ronggeng Pangandaran yang Berjuang Menantang Zaman

Baca Juga: Kucumbu Alam Indahku, Eksplorasi Gerak Ala Rianto

Baca Juga: Tari Dolalak, Bentuk Perlawanan Pribumi Terhadap Kolonial Belanda

Baca Juga: Eksistensi Tarian Merawai Orang Laut Pulau Lipan Diambang Kepunahan

  

Meski mendatangkan antusiasme masyarakat, namun "bagi pemerintah, pesta ronggeng di perkebunan cukup merepotkan karena terjadi kriminalitas yang menyertainya," jelas Imadudin.

Demi ronggeng, para buruh rela menghabiskan seluruh uang hasil jerih payahnya selama bekerja hanya untuk perempuan malam. Uang habis karena kebiasaan minuman keras, berjudi, dan mengisap candu.

"Ongkos yang harus dikeluarkan buruh untuk menikmati hiburan tersebut tidaklah kecil. Para buruh akan menghabiskan gaji mingguannya," terangnya.

Karena munculnya dampak buruk, pemerintah Hindia Belanda akhirnya melarang dengan keras pesta ronggeng pada 1880. Meski pada akhirnya, pada 1881 larangan tersebut melonggar.