Tari merawai dari Pulau Lipan, Kabupaten Lingga, merupakan salah satu tarian milik Orang Laut yang keberadaanya terancam punah. Kesenian ini semakin jarang ditampilkan oleh masyarakat setempat, padahal tari merawai memiliki keunikan yang tidak dapat dijumpai di daerah lain.
Orang Laut adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kebudayaan bahari semurni-murninya dan hidup secara nomaden, tetapi kini banyak Orang Laut yang memilih untuk menetap di daratan.
Studi dilakukan oleh Dedi Arman bertajuk "Perkembangan Tari Merawai di Pulau Lipan Kabupaten Lingga", Yang terbit pada Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. Dedi melihat keberadaan Tari merawai di tengah Orang Laut berada di ambang kepunahan. Hal ini diakibatkan oleh ketidak tertarikan generasi penerus dan beberapa hal lainya.
Biasanya tarian ini ditampilkan untuk memeriahkan atau merayakan suatu pertemuan, oleh karenanya tarian ini masuk dalam kategori kesenian hiburan. Dengan iringan gong, gendang, viol, dan tambur, para perempuan dengan jumlah tiga atau lebih menari bak gerakan melepas rawai ke laut. Dalam tarian merawai, sesuatu yang khas dan digandrungi oleh penonton adalah lirik lagunya yang unik.
Dedi mengaku mengalami kesulitan ketika mengidentifikasi kesenian tradisi yang dilakukan oleh Orang Laut, hal ini disebabkan minimnya narasumber lapangan yang dapat memberikan informasi. Kendati demikian masih dapat ditemukan beberapa narasumber yang berasal dari Orang Melayu dan Orang Laut itu Sendiri.
Baca Juga: Sarung Sebagai Simbol Kekayaan Budaya Asia dari Masa ke Masa
Tahun 1950-an adalah masa kejayaan tari merawai. Biasanya, pementasan dilakukan pada acara-acara tertentu atau sekadar hiburan. Mahmud Usman, salah satu narasumber dalam studi Dedi, menceritakan bahwa tari merawai pernah dipentaskan dalam perayaan kemerdekaan tahun 1954 dan berlangsung meriah.
“Penonton yang ingin masuk lapangan dan menonton wajib membayar. Para penari juga berjoget sambil meminta uang dari penonton dengan cara disawer. Kalau sudah memberikan saweran, penonton bisa turun berjoget ke lapangan,” ujar Mahmud saat diwawancarai.
Sayangnya, kini semarak tari merawai kian redup akibat Orang Laut yang tidak pernah memainkan kesenian ini lagi. Dedi mengungkapkan, pementasan tari merawai beberapa kali masih berlangsung hingga kini, tetapi tarian tersebut tidak sesuai pakem seharusnya, “tari merawai yang ditampilkan sudah kreasi,” ujar Dedi, “pemainya sudah bercampur antara laki-laki dan perempuan. Musiknya juga sudah diiringi sejumlah alat musik. Penarinya juga bukan Orang Laut.”
Tidak adanya regenerasi menjadi salah satu masalah bagi kelestarian tari merawai. Dedi mengkhawatirkan punahnya tarian merawai, bila kelak para tokoh pelestari yang jumlahnya sedikit sudah tiada.
Baca Juga: Suku Laut, Pengembara di Kepulauan Riau
Alasan lain terancamnya tari merawai dari kepunahan adalah ketiadaan alat musik sebagai pengiring tarian ini, “alat musiknya dahulu ada di Pulau Lipan yang biasanya disimpan di rumah Tok Anis sudah rusak,” jelas Dedi.
Melalui studinya, Dedi berharap kepada pemerintah Kabupaten Lingga untuk memperhatikan eksistensi tari merawai ini, “Tari merawai yang unik dan hanya ada di Pulau Lipan sangat berpotensi untuk ditetapkan jadi warisan budaya tak benda (WBTB) dari Kabupaten Lingga,” pungkas Dedi.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR