Nationalgeographic.co.id—Jangan cepat-cepat membuang wadah bekas biskuit yang ada di rumah kita. Barangkali kita dapat menampilkan suatu pertunjukan musik Marching Band dengan menggunakan barang-barang bekas anda.
Drumband Blek atau biasa orang Salatiga menyebutnya Drumblek, merupakan kesenian musik yang berasal dari Pancuran, Kota Salatiga. Sama halnya dengan peranti Marching Band pada umumnya, Drumblek juga memiliki alat-alat yang mirip dengan Marching Band. Namun demikian, Drumblek menggunakan peralatan yang lebih sederhana dari barang bekas seperti wadah biskuit, kentongan, tong sampah kecil, tong sampah besar, dan cakram. Dalam bahasa Belanda kata “blek” pada Drumblek berasal dari kata serap “blik” yang memiliki arti kaleng untuk menyimpan makanan.
Awal Mula Drumband Lokal
Dalam penelitian Ardi Prasetyo yang berjudul Strategi Paguyuban Drumblek Salatiga dalam Mengembangkan kesenian Drumblek sebagai Identitas Budaya Kota Salatiga, pada tahun 1984 awal, terdapat sekelompok remaja yang berkumpul untuk menyemangati teman-temannya yang sedang bermain pingpong (tenis meja) sambil memukul-mukul blek atau kaleng-kaleng bekas diiringi dengan gitar dan menciptakan musik yang selaras.
“Dulu berawal (kumpulan anak 25 tahun) dari menunggu permainan ping-pong, lalu mereka saling mengambil alat untuk dipukul-pukul, dulu mainnya sama gitar. Kemudian kok bisa terdengar selaras gitu. Kemudian pada kegiatan Tujuh Belasan anak-anak muda langsung mengambil barang bekas, entah itu kaleng dari wadah roti apa, mereka ambil lalu mereka pukul,” ungkap Budi Sutrisno, sesepuh drumblek Pancuran, kepada Ardi.
Pada peringatan HUT RI tahun 1986 para remaja itu memperkenalkan Drumblek ke publik. Nampaknya masyarakat sangat menikmati permainan para personel Drumblek remaja Pancuran. Dengan ide kreatif yang dimiliki warga Pancuran tersebut, maka tampillah pertunjukan musik Marching Band dengan membuat drumband lokal menggunakan barang-barang bekas yang biasa mereka mainkan sebelumnya.
Permainan perkusi dengan barang-barang bekas ini mendapatkan perhatian luas dari masyarakat kota Salatiga. Drumblek hingga saat ini masih terus berkembang dan telah menyebar ke seluruh wilayah Salatiga bahkan keluar dari wilayah kota seperti Banyubiru, Ampel, Suruh, Ambarawa, Solo, dan Semarang. Drumblek telah menjadi ikon kesenian kota Salatiga.
Section pada Drumblek
Agar masyarakat semakin tertarik, para personel yang memainkan Drumblek melengkapi diri dengan seragam warna-warni dan jumlah personel. Sama halnya dengan para personel Marching Band pada umumnya. Personel dengan jumlah yang banyak menjadi daya tarik yang kuat dalam penampilan kesenian ini, karena kemeriahan dari permainan alat musik, dan juga kostum yang dikenakan.
"Terdapat 50 pemain snare atau senar drum dengan menggunakan blek, 30 pemain kentongan bambu, 20 pemain tenor dengan tong plastik kecil, 10-15 pemain bass dengan tong plastik besar, beberapa pemain belira, drum, penari dan gitapati," tulis Ardi Prasetyo pada penelitiannya.
Sebelum tahun 2000-an Drumblek menggunakan lebih banyak penari dari pada pemain instrumen musik, namun pada tahun 2005 komposisi pemain Drumblek diubah dengan mengurangi jumlah penari dan menambahkan pemain instrument musik.
“Kalau saya mulai mengajar itu dan latihan bersama-sama dari 90-an, dulu saya seorang penari dan biasanyakan lebih banyak penarinya daripada yang memegang instrument musik. Kemudian tahun 2005 sepulang dari Jakarta saya mencoba mengaransemen dan menambahkan instrument yang belum ada seperti drum besar, kentongan dan tong-tong kecil,” ujar Suwarno, pelatih Drumblek Pancuran, seperti yang dikutip dari penelitian Ardi.
Musik yang dimainkan oleh kelompok Drumblek terdengar sangat menarik, enak didengar, dan unik karena aransemen atau perubahan yang dibuat pada sebuah lagu. Untuk permainan kesenian Drumblek ini biasa diawali dengan mencari ketukan dan menentukan tempo yang pas oleh pemain belira dan tam-tam lalu diikuti oleh pemain kentongan, snare, bass, dan tenor.
Baca Juga: Musik dan Jiwa Zamannya: Interpretasi Lagu dalam Sinetron si Doel
Penulis | : | Ratu Haiu Dianee |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR