Upaya Tanpa Henti Bangsa Romawi Mencari Sumber Air Sungai Nil

By Sysilia Tanhati, Rabu, 11 Mei 2022 | 15:00 WIB
Meskipun tidak membuahkan hasil, penjelajah Nero menjadi orang Eropa pertama yang menjelajah jauh ke Afrika khatulistiwa. (Gabriel Lekegian)

Nationalgeographic.co.id—Sejak zaman Firaun, Sungai Nil memiliki tempat khusus. Dari seni, ekonomi, agama, dan militer, Nil memiliki peranan penting dalam semua aspek kehidupan sosial dan politik Mesir dan Romawi.

Di bawah Kaisar Nero, ekspedisi mencoba menemukan sumber air Sungai Nil. Meskipun tidak membuahkan hasil, penjelajah Nero menjadi orang Eropa pertama yang menjelajah jauh ke Afrika khatulistiwa.

Alasan pasti tidak diketahui, entah penaklukan atau dokumentasi, Nero melakukan upaya tanpa henti untuk mencari sumber air Sungai Nil.

Romawi kuno dan daya pikat Mesir

Sejarawan Yunani Herodotus menyebut Mesir sebagai ‘hadiah dari Sungai Nil’. Tanpa sungai yang kuat dan banjirnya yang meninggalkan lumpur hitam yang subur, tidak akan ada peradaban Mesir kuno. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Sungai Nil menjadi elemen sentral dari mitologi Mesir. “Sebagai simbol kelahiran kembali, sungai memiliki dewanya sendiri, pendeta yang setia, dan upacara mewah,” ungkap Vedran Bileta dilansir dari laman The Collector.

Ketika Romawi mengambil alih, Mesir menjadi sumber makanan Kekaisaran Romawi. Sejak abad kedua SM, elit Romawi terpikat dengan wilayah terkaya di Mediterania ini.

Selama satu setengah abad, bahkan tokoh-tokoh kuat di Republik Romawi mempengaruhi politik raja-raja Ptolemeus dari jauh. Kehadiran Julius Caesar di Mesir menandai keterlibatan langsung Romawi dalam urusan wilayah kuno. Campur tangan ini memuncak dengan aneksasi Romawi atas Mesir pada 30 SM.

Ketika kaisar Augustus merayakan pengambilalihan provinsi kaya, personifikasi Sungai Nil adalah salah satu elemen sentral dari prosesi tersebut. Dengan segera, masyarakat pun mulai mendekorasi rumah dengan segala hal yang berbau Mesir dan Sungai Nil.

Seni Nilotic pun muncul dan populer di abad pertama Masehi. Seni Nilotic menunjukkan kekuatan kekaisaran Romawi dalam menaklukkan tanah liar dan asing serta sungai pemberi hadiah yang besar.

Pencarian sumber air Sungai Nil

Ketika Nero naik takhta, perbatasan selatan Mesir Romawi menikmati masa damai. Ini tampak seperti kesempatan sempurna untuk mengatur ekspedisi ke tempat yang tidak diketahui. Motif pasti Nero tidak jelas.

Ekspedisi bisa menjadi survei awal untuk serangan militer penuh ke wilayah selatan. “Atau bisa juga dimotivasi oleh keingintahuan ilmiah,” ungkap Bileta. Tim ekspedisi berlayar ke selatan, menyusuri Sungai Nil, untuk menemukan sumber air Sungai Nil.

Plinius Tua dan Seneca, memberi informasi yang sedikit berbeda tentang usaha pencarian tersebut. Jika memang ada dua ekspedisi, yang pertama dilakukan sekitar tahun 62 M, sedangkan yang kedua dilakukan lima tahun kemudian.

Ekspedisi ini dipimpin oleh dua perwira Pengawal Praetorian, yang dikomandani oleh sebuah tribun. Pilihan ini tidak mengejutkan, karena pengawal terdiri dari orang-orang kaisar yang paling dipercaya. Mereka juga dipilih sendiri dan diberi pengarahan secara rahasia. Pengalaman yang cukup diperlukan untuk bernegosiasi dengan para penguasa yang ditemui dalam perjalanan menyusuri Sungai Nil.

Alih-alih peta, orang Romawi mengandalkan rencana perjalanan yang sudah ada sebelumnya. Bileta menambahkan, “Mereka berpedoman pada data yang dikumpulkan oleh berbagai penjelajah dan pelancong Graeco-Romawi dari selatan.”

Selama perjalanan, para penjelajah kekaisaran Nero mencatat rute dan menyajikannya sekembalinya ke Romawi, bersama dengan laporan lisan. Detail penting dari laporan ini disimpan oleh Plinius dalam Natural History-nya. Sedangkan deskripsi lengkapnya berasal dari Seneca.

Dokumentasi kekayaan Sungai Nil

Penjelajahan itu melintasi perbatasan di Syene, melewati Philae, sebelum meninggalkan wilayah kekaisaran. Pulau Philae pada saat itu merupakan tempat perlindungan penting di Mesir, tetapi juga merupakan pusat komersial.

Mencapai Pselchis dengan garnisun Romawi yang kecil, ekspedisi harus melakukan perjalanan darat ke Premnis. “Karena bagian Sungai Nil ini sulit dan berbahaya untuk dinavigasi,” tutur Bileta.

Di Premnis, ekspedisi menaiki perahu yang membawa mereka lebih jauh ke Selatan. Para penjelajah mengandalkan bantuan lokal, persediaan, air, dan informasi tambahan untuk lebih dekat ke sumber Sungai Nil.

Selanjutnya, perjanjian diplomatik dapat dibuat dengan perwakilan dari suku-suku setempat. Selama bagian perjalanan inilah para perwira mulai merekam perjalanan mereka secara lebih rinci.

Dari perahu, kru bisa melihat burung beo, babon, dan sphynga, monyet kecil. (Campana Plate/Vatican Museum)

Mereka menggambarkan fauna lokal, termasuk buaya ramping, dan kuda nil raksasa, hewan paling berbahaya di Sungai Nil. Bergerak ke selatan, para penjelajah mengunjungi ‘kota kecil’ Napata, yang pernah menjadi ibu kota Kushite sebelum dijarah Romawi.

Saat ini, orang Romawi menghadapi terra incognita, dengan gurun berangsur-angsur surut sebelum tanah hijau subur. Dari perahu, kru bisa melihat burung beo, babon, dan sphynga, monyet kecil.

Selatan jauh

Sebelum mendekati Pulau Meroë, para penjelajah sempat menemukan beberapa hewan terbesar di Afrika, termasuk gajah dan badak. Terletak di utara Khartoum modern, Mero adalah ibu kota baru kerajaan Kushite.

Saat ini, Meroë kuno berbagi nasib yang menimpa Napata, terkubur oleh pasir gurun. Namun, pada abad pertama, ini adalah kota terbesar di wilayah tersebut, yang dipenuhi dengan arsitektur monumental termasuk makam piramida yang terkenal. Kerajaan Kush adalah negara kuno yang menghadapi gelombang penjajah, dari tentara firaun hingga legiun Romawi. Mero, bagaimanapun, adalah tempat yang belum pernah dicapai orang Romawi sebelum kedatangan penjelajah Nero.

Di Meroë catatan ekspedisi berbeda. Menurut Plinius, Praetorian bertemu dengan sang Ratu, Kandake Amanikhatashan. Sedangkan Seneca menyebutkan bahwa Praetorian bertemu dengan raja Kushite.

Pemimpin Kushite menasihati tentang sejumlah penguasa selatan yang mungkin mereka temui dalam perjalanan lebih jauh ke pedalaman. Pda saat itu, tim ekspedisi menuju lebih dekat ke sumber air Sungai Nil.

Setelah Praetorian meninggalkan Mero, melanjutkan ke hulu, lanskap berubah lagi. Hutan liar dengan sedikit orang menggantikan ladang hijau.

Mencapai daerah Karthoum modern, para penjelajah menemukan tempat di mana Sungai Nil terbelah menjadi dua. Di tempat itu, airnya berubah warna dari coklat menjadi biru tua. Mereka tidak mengetahuinya saat itu, tetapi sekarang kita tahu bahwa para penjelajah menemukan Nil Biru yang mengalir dari dataran tinggi Etiopia.

Sebaliknya, para prajurit memutuskan untuk terus menyusuri Sungai Nil Putih, yang membawa mereka ke Sudan Selatan. “Pada titik ini, mereka menjadi orang Eropa pertama yang menembus jauh ke selatan ini ke Afrika,” Bileta menambahkan.

Bagi orang Romawi, ini adalah negeri yang penuh keajaiban, dihuni oleh makhluk-makhluk fantastik—kerdil kecil, hewan tanpa telinga atau dengan empat mata. Di negeri ini, rang-orang yang diperintah oleh penguasa anjing dan pria berwajah terbakar. Bahkan pemandangannya tampak seperti dunia lain. Gunung-gunung bersinar merah seolah-olah dibakar.

Apakah penjelajah Nero berhasil menemukan sumber air Sungai Nil?

Saat mereka bergerak lebih jauh ke selatan menuju sumber air Sungai Nil, daerah yang dilalui para penjelajah menjadi semakin basah, berawa, dan hijau. Akhirnya, Praetorian yang pemberani mencapai rintangan yang tidak dapat dilewati: daerah rawa yang luas, yang sulit untuk dilintasi. Ini adalah wilayah yang sekarang dikenal sebagai Sudd, rawa besar yang terletak di Sudan Selatan.

Praetorian yang pemberani mencapai rintangan yang tidak dapat dilewati: daerah rawa yang luas, yang sulit untuk dilintasi. (Wikimapia)

Sudd, dengan tepat, diterjemahkan sebagai 'penghalang'. Penghalang vegetasi lebat inilah yang menghentikan ekspedisi Romawi ke Afrika khatulistiwa.

Romawi bukan satu-satunya yang gagal melewati Sudd. Bahkan ketika penjelajah Eropa mencapai Danau Victoria pada pertengahan abad ke-19, mereka menghindari daerah itu. Danau besar dicapai dari timur.

  

Baca Juga: Masturbasi di Sungai Nil, Jadi Ritual Keagamaan Era Mesir Kuno

 Baca Juga: Kenapa Sungai Nil Bernilai Sangat Penting bagi Peradaban Mesir Kuno?

 Baca Juga: Sumber Air Sungai Nil, Misteri yang Terbentang Selama 3.000 Tahun

 Baca Juga: Sambil Memadu Kasih, Mark Antony dan Cleopatra Menentang Romawi

  

Namun, ada sedikit informasi menarik yang ditinggalkan Seneca. Dalam laporan mereka yang dikirimkan ke Nero, para penjelajah menggambarkan air terjun yang tinggi – ‘dua tebing yang darinya sejumlah besar air sungai mengalir ke bawah’. Beberapa pakar mengidentifikasikannya sebagai Air Terjun Murchison (dikenal juga sebagai Kabalega), yang terletak di Uganda.

Jika benar, ini berarti bahwa orang Romawi sudah sangat dekat dengan sumber air Sungai Nil. Air Terjun Murchison terletak di tempat Sungai Nil Putih, yang berasal dari Danau Victoria, terjun ke Danau Albert.

Apa pun titik terjauh yang dicapai penjelajah Romawi, sekembalinya mereka ke Roma, ekspedisi itu dinyatakan sukses besar. Kematian Nero, bagaimanapun, mencegah misi lebih lanjut atau serangan militer potensial di selatan. Penerusnya tidak memiliki keinginan yang sama dengan Nero untuk menjelajah.

“Dengan demikian, selama hampir dua milenium, sumber Sungai Nil tetap berada di luar jangkauan Eropa,” imbuh Bileta.

Perlu waktu hingga pertengahan abad ke-19 bagi sumber Sungai Nil untuk mengungkapkan rahasia terakhirnya. Pertama dengan Speke dan Burton pada tahun 1858. Dan kemudian dengan Stanley pada tahun 1875, yang menatap tanpa berkata-kata ke perairan Air Terjun Victoria.

Akhirnya, orang-orang Eropa menemukan tempat di mana semuanya dimulai, tempat dari mana Sungai Nil yang perkasa membawa hadiahnya ke Mesir.