Gejolak Sosial di Tanah Partikelir Pamanukan dan Ciasem 1913

By Galih Pranata, Kamis, 12 Mei 2022 | 11:00 WIB
Tandu sebagai moda transportasi perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden, Subang. (Indonesia.go.id)

Nationalgeographic.co.id—Kemunculan onderneming atau perkebunan Belanda di Subang, mengiringi cerita tentang kemakmuran di tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem  menjadi menarik untuk dibaca kembali. P en T Lands, demikian nama perkebunan itu.

Adanya stratifikasi sosial yang timbul di tengah masyarakat, acap kali menyudutkan kalangan pribumi atau penduduk lokal di tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem. Terlebih, sejumlah kejahatan Belanda nantinya memunculkan gejolak sosial di masyarakat.

"Sepanjang tahun 1913, gelombang kerusuhan meluas di berbagai tanah partikelir, antara Ciomas, Slipi, Cakung, dan Surabaya," tulis Iim Imadudin beserta tim risetnya.

Imadudin menulis dengan Kunto Sofianto, dan Miftahul Falah dalam jurnal Patanjala yang berjudul Gerakan Sosial di Tanah Partikelir Pamanukan dan Ciasem 1913. Jurnalnya dipublikasi pada tahun 2012.

Agaknya, serangkaian protes tersebut terkait erat dengan kegagalan pembayaran sewa atau pajak, maupun penebusan kerja kompenian. Banyak petani yang mengalami kebangkrutan, karena harta mereka dirampas, dijual, bahkan dibakar.

Berdasarkan aturan baru tentang tanah partikelir, para tuan tanah dapat melakukan pengadilan terhadap para petani yang tidak mampu membayar pajak.

Gelombang kerusuhan tersebut terjadi juga di tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem. Pada tanggal 7 Juni 1913, sebanyak 350 orang dari enam desa di wilayah Pamanukan dan Ciasem mengajukan tuntutan meminta keringanan kewajiban pajak.

"Tuntutan tersebut berkembang menjadi aksi demonstrasi pada tanggal 13 Juni 1913," terus Imadudin dan tim dalam tulisannya.

Para petani membubarkan diri setelah bupati menyatakan akan memperjuangkan permintaan mereka. Meski demikian aksi protes semakin meluas ke desa-desa di kawasan tanah partikelir.

Ketegangan tidak hanya bersifat vertikal, bahkan terjadi pula secara horizontal, antara penduduk pribumi dengan orang-orang Cina di Pamanukan.

Penduduk pribumi yang dimaksud adalah para santri dari Pesantren Tegalgubug, dekat Arjawinangun. Mereka bekerja sebagai buruh musiman saat musim panen tiba. Tak lama kemudian muncul desas-desus bahwa tanggal 26 Juni para santri akan menyerang Pecinan. 

Mengetahui informasi tersebut, Bupati dan Residen Karawang segera menugaskan polisi Pamanukan, Purwakarta dan tanah partikelir Pamanukan-Ciasem, dibantu militer, bersiaga untuk meredam gejolak yang lebih besar lagi.