Gejolak Sosial di Tanah Partikelir Pamanukan dan Ciasem 1913

By Galih Pranata, Kamis, 12 Mei 2022 | 11:00 WIB
Tandu sebagai moda transportasi perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden, Subang. (Indonesia.go.id)

Tepat pada tanggal 26 Juni mereka berjaga-jaga di sekitar pasar dan Kampung Cina untuk mencegah berlangsungnya aksi massa. Meski di hari itu, nyatanya, tidak terjadi apa-apa.

Pada tahun 1913 penetapan cukai padi naik hingga 200%. Penyebabnya adalah pengukuran kembali terhadap tanah yang diusahakan penduduk. Petani mengeluhkan kenaikan cukai-padi pada pihak yang berwajib.

Perkebunan teh yang luas, milik Pamanukan dan Tjiasemlanden di distrik Soekamandi, timur laut Poerwakarta. (KITLV)

"Karena tidak mendapat respon yang baik, petani mengancam para opsiner distrik dan demang ketika berlangsungnya perkumpulan kepala-kepala desa," terangnya. 

Selain itu, respon kekecewaan juga ditunjukkan para petani dengan merintangi jalan Wera-Subang dengan pepohonan agar terjadi kecelakaan mobil.

Pada tanggal 7 Juni 1913, Kontrolir Subang memeriksa keluhan penduduk Cigugur dan Bojongkeding (Onderdistrik Pamanukan) di kediaman Wedana Pamanukan. 

Hadir sekitar 350 orang yang datang dari Cigugur, Bojongkeding, Bobos, Pamanukan, Tambakdahan, Pancakerta, dan Pancahilir.

Baca Juga: Perkecuan di Klaten Akibat Krisis Petani Perkebunan Belanda Sejak 1875

Baca Juga: Histori Mudik yang Memperparah Pagebluk di Zaman Hindia-Belanda

Baca Juga: Tuan Treub, Sosok di Balik Keindahan Kebun Raya Bogor dan Silang Monas

Baca Juga: Onderneming Banyuasin Mendorong Lahirnya Modernitas di Masyarakat