Meski demikian, budak dari kawasan Nusantara yang dipekerjakan hanya sedikit yang dilaporkan bekerja di luar Asia Tenggara. Kebanyakan budak VOC adalah orang India yang diekspor dari kantor pelabuhan koloninya di Cochin, yang dikirim ke Batavia dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Para budak tidak hanya menguntungkan VOC, tetapi juga pejabat. Sebagaimana kisah Maria van Benghalen, budak milik seorang pejabat VOC, Jan van Riebeeck (1619-1677). Nama ‘van Benghalen’ banyak disematkan untuk budak asal Benggala.
“Individu [pegawai VOC] mendapat keuntungan dari perdagangan budak skala kecil pribadi mereka, terutama jika mereka memiliki akses ke jaringan transportasi Kompeni untuk dijual ke tempat yang memperoleh harga yang lebih tinggi,” tulis Mbeki dan van Rossum. “Akses ke jaringan transportasi Kompeni ini dapat diartikan, budak-budak diperintahkan untuk dikirim dari satu permukiman ke permukiman lain dengan kapal-kapal Kompeni.”
Pejabat VOC yang berpangkat tinggi dapat menggunakan kapal Kompeni untuk membawa budak, sedangkan yang berpangkat rendah harus menggunakan kapal jasa. Pasalnya, ada perizinan untuk setiap tingkatan pada 1776. Sasarannya para perwira kapal, membatasi jumlah budak pribadi untuk kapten yang maksimal delapan budak, dan yang lebih rendah hanya empat budak.
Sejak 1630-an, para budak harus didaftar sebagai penumpang kapal melalui isian data terperinci. Kompeni menjadikan Tanjung Harapan sebagai pusat inspeksi sebelum melanjutkan pelayaran ke Asia atau Eropa. Namun, dalam beberapa kasus, banyak perwira VOC tidak mendaftarkan budak mereka dalam perjalanan ke Belanda.
Selain budak dari India yang diberangkatkan dari Cochin, beberapa catatan sejarah memaparkan bahwa VOC juga mendatangkan para budak dari Mozambik ke Cochin. Biasanya mereka dipekerjakan untuk perkebunan di India barat. Budak dari Mozambik didapat dari berbagai ekspedisi VOC. Beberapa diambil dari Madagaskar atas perdagangan raja setempat. Akibatnya, kawasan Malabar di pesisir barat daya India itu menjadi ramai karena budak dan lada yang menjadi komoditas penting bagi Kompeni.
Srilangka juga menjadi tempat terpenting karena menghasilkan kayu manis pada pertengahan abad ke-17. Hasil bumi Srilangka juga turut menguntungkan pasar di Eropa, melalui pelayaran yang terlebih dahulu singgah di Tanjung Harapan dan Benteng Elmina di Gana.
“Permukiman pelabuhan Sri Lanka juga menjadi hal yang penting untuk pelayaran intra-Asia besar VOC, dengan sebagian besar kapal dan rute antara tujuan di Samudera Hindia Barat, Benggala, dan Asia Tenggara, singgah di Sri Lanka,” terang Mbeki dan van Rossum.
Budak dipekerjakan dari seluruh penjuru koloni. Pekerjaan mereka dibagi berdasarkan stereotip: orang Afrika yang identik berbadan besar pasti untuk di ladang, perempuan Benggala sebagai penghasil tekstil karena kepandaian menjahitnya, dan orang Melayu yang menjadi pengrajin atau urusan rumah tangga karena keuletannya. Stereotip ini berlaku di Belanda dan seluruh tanah jajahannya. VOC sebagai kongsi perusahaan dagang yang memiliki kawasan juga mengandalkan budak sebagai penjaga kebersihan kota.
Lilie Suratminto menggambarkan Batavia yang sangat bergantung pada budak membuatnya lebih disesaki para budak daripada orang Belanda. Lilie merupakan peminat kajian bahasa dan budaya Belanda, kini Dekan Fakultas Sosial Humaniora di Universitas Buddhi Dharma, Tangerang. “Ada macam-macam, untuk belanja, untuk rumah tangga, masak, dan mengurus pembuangan tinja jam sembilan malam atau negen uur bloemen demi kebersihan Batavia dengan menjaga kebersihan kali. Batavia saat itu sebenarnya bau sekali kalau malam-malam itu,” papar Lilie.
Pekerjaan ini dilakukan karena semasa VOC belum mengenal toilet, sehingga sebelum jam sembilan malam tinja ditampung dalam tong, lalu dibuang serempak ke kali agar hanyut ke laut. “Bersihlah Batavia pagi-paginya. Jadi, kali sudah jernih untuk cuci beras dan mandi,” terangnya.