Demi rempah incaran Eropa, budak harus bekerja dalam nestapa di negeri antah-berantah.
Nationalgeographic.co.id—Tidak ada yang tahu asal-usul sejati pemuda asal Bali, Surawiroaji (1660-1706). Dia menjadi budak Kapten van Beber yang dibeli di Makassar. Ketika usianya sekitar 10 tahun, dia milik majikan baru di Batavia, Tuan Moor. Karena kerap mendatangkan kemujuran, dia diberi nama “Si Untung”. Itulah kisah singkat budak bernama Untung Surapati yang terekam dalam Babad Tanah Jawi.
Namun, apesnya, dia ditahan gara-gara jatuh cinta dengan putri tuannya, Suzanne. Selama di tahanan Balai Kota Batavia, deritanya membuahkan dendam kesumat pada VOC.
Dia kemudian mengumpulkan para tahanan lainnya untuk kabur, meski sumber lain ada yang menyebutkan pelariannya berkat bantuan Suzanne. Kebebasannya membawa keberanian baru bagi orang-orang Jawa untuk melawan VOC.
Untung adalah salah satu dari budak-budak di untaian Jalur Rempah. Perjuangannya dilanjutkan oleh putra-putranya. Sebagian dari mereka yang melanjutkan perjuangan ini tertangkap bersama Amangkurat III, lalu dibuang ke Srilanka.
Ketangguhan dan perlawanan Untung Surapati mendapat anugerah gelar pahlawan nasional pada November 1975. Pengajar Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, memaparkan bahwa orang Bali sering dijadikan budak karena alasan kultural.
Kasta terendah dalam tatanan Bali, biasanya dijual sebagai budak dengan melibatkan pedagang, pejabat kolonial, perkenier (pemilik kebun), dan bajak laut.
Margana bersama Umi Barjiyah melalui tesis berjudul Budak orang buangan dan perkenier di perkebunan pala: Perbudakan di Kepulauan Banda tahun 1770-1860, menulis kaitan budak dan rempah.
Budak sangat dibutuhkan untuk bisnis rempah, terutama untuk pekerjaan di perkebunan pala di Kepulauan Banda. “Perdagangan budak di Hindia Timur lebih tersebar, dan terjadi di beberapa kota, seperti Ambon, Makassar, Batavia, Banda, dan kotakota pelabuhan yang melakukan perdagangan dan jaringan-jaringannya,” ungkapnya.
Peran bajak laut juga memicu perbudakan dengan kegiatan mereka di balik persembunyiannya sekitar Karimun Jawa dan Kangean. Aktivitasnya sulit dilacak VOC, sehingga mereka dapat menyandera awak kapal besar yang melintas untuk dijual sebagai budak kepada perkenier dan pedagang.
Sementara itu Linda Mbeki, asisten kurator Museums of South Africa, dan sejarawan Leiden University Matthias van Rossum, membahas perdagangan budak dari sisi pelaku. Penelitian mereka bertajuk Private slave trade in the Dutch Indian Ocean world: a study into the networks and backgrounds of the slavers and the enslaved in South Asia and South Africa, terbit di jurnal Slavery & Abolition pada 2017. Mereka menerangkan bahwa pelaku perdagangan budak di Kepulauan Maluku umumnya adalah orang Bugis dan Cina.
Meski demikian, budak dari kawasan Nusantara yang dipekerjakan hanya sedikit yang dilaporkan bekerja di luar Asia Tenggara. Kebanyakan budak VOC adalah orang India yang diekspor dari kantor pelabuhan koloninya di Cochin, yang dikirim ke Batavia dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Para budak tidak hanya menguntungkan VOC, tetapi juga pejabat. Sebagaimana kisah Maria van Benghalen, budak milik seorang pejabat VOC, Jan van Riebeeck (1619-1677). Nama ‘van Benghalen’ banyak disematkan untuk budak asal Benggala.
“Individu [pegawai VOC] mendapat keuntungan dari perdagangan budak skala kecil pribadi mereka, terutama jika mereka memiliki akses ke jaringan transportasi Kompeni untuk dijual ke tempat yang memperoleh harga yang lebih tinggi,” tulis Mbeki dan van Rossum. “Akses ke jaringan transportasi Kompeni ini dapat diartikan, budak-budak diperintahkan untuk dikirim dari satu permukiman ke permukiman lain dengan kapal-kapal Kompeni.”
Pejabat VOC yang berpangkat tinggi dapat menggunakan kapal Kompeni untuk membawa budak, sedangkan yang berpangkat rendah harus menggunakan kapal jasa. Pasalnya, ada perizinan untuk setiap tingkatan pada 1776. Sasarannya para perwira kapal, membatasi jumlah budak pribadi untuk kapten yang maksimal delapan budak, dan yang lebih rendah hanya empat budak.
Sejak 1630-an, para budak harus didaftar sebagai penumpang kapal melalui isian data terperinci. Kompeni menjadikan Tanjung Harapan sebagai pusat inspeksi sebelum melanjutkan pelayaran ke Asia atau Eropa. Namun, dalam beberapa kasus, banyak perwira VOC tidak mendaftarkan budak mereka dalam perjalanan ke Belanda.
Selain budak dari India yang diberangkatkan dari Cochin, beberapa catatan sejarah memaparkan bahwa VOC juga mendatangkan para budak dari Mozambik ke Cochin. Biasanya mereka dipekerjakan untuk perkebunan di India barat. Budak dari Mozambik didapat dari berbagai ekspedisi VOC. Beberapa diambil dari Madagaskar atas perdagangan raja setempat. Akibatnya, kawasan Malabar di pesisir barat daya India itu menjadi ramai karena budak dan lada yang menjadi komoditas penting bagi Kompeni.
Srilangka juga menjadi tempat terpenting karena menghasilkan kayu manis pada pertengahan abad ke-17. Hasil bumi Srilangka juga turut menguntungkan pasar di Eropa, melalui pelayaran yang terlebih dahulu singgah di Tanjung Harapan dan Benteng Elmina di Gana.
“Permukiman pelabuhan Sri Lanka juga menjadi hal yang penting untuk pelayaran intra-Asia besar VOC, dengan sebagian besar kapal dan rute antara tujuan di Samudera Hindia Barat, Benggala, dan Asia Tenggara, singgah di Sri Lanka,” terang Mbeki dan van Rossum.
Budak dipekerjakan dari seluruh penjuru koloni. Pekerjaan mereka dibagi berdasarkan stereotip: orang Afrika yang identik berbadan besar pasti untuk di ladang, perempuan Benggala sebagai penghasil tekstil karena kepandaian menjahitnya, dan orang Melayu yang menjadi pengrajin atau urusan rumah tangga karena keuletannya. Stereotip ini berlaku di Belanda dan seluruh tanah jajahannya. VOC sebagai kongsi perusahaan dagang yang memiliki kawasan juga mengandalkan budak sebagai penjaga kebersihan kota.
Lilie Suratminto menggambarkan Batavia yang sangat bergantung pada budak membuatnya lebih disesaki para budak daripada orang Belanda. Lilie merupakan peminat kajian bahasa dan budaya Belanda, kini Dekan Fakultas Sosial Humaniora di Universitas Buddhi Dharma, Tangerang. “Ada macam-macam, untuk belanja, untuk rumah tangga, masak, dan mengurus pembuangan tinja jam sembilan malam atau negen uur bloemen demi kebersihan Batavia dengan menjaga kebersihan kali. Batavia saat itu sebenarnya bau sekali kalau malam-malam itu,” papar Lilie.
Pekerjaan ini dilakukan karena semasa VOC belum mengenal toilet, sehingga sebelum jam sembilan malam tinja ditampung dalam tong, lalu dibuang serempak ke kali agar hanyut ke laut. “Bersihlah Batavia pagi-paginya. Jadi, kali sudah jernih untuk cuci beras dan mandi,” terangnya.
Salah satu contoh rumah yang mempekerjakan banyak budak adalah kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1778 hingga 1780, Reinier de Klerk. Kini, Gedung Arsip Nasional. Menurut Lilie, para budak tinggal di bagian bertingkat dari rumah itu, yang dikelola istri de Klerk untuk dijual. Rumah ini memiliki slavenbell (lonceng budak) sebagai penanda waktu untuk jam bekerja budak.
Perihal budak Afrika, VOC tidak mengirimkannya ke Hindia Timur. Mereka baru didatangkan Belanda seusai Perang Jawa sebagai pasukan untuk mengantisipasi perlawanan sisa pengikut Dipanagara pada 1831. Budak asal Afrika ditempatkan di Purworejo, Jawa Tengah. Sampai sekarang masih ada toponimi Gang Afrikaan di sana.
“Mereka dikenal sebagai Londo Ireng (Belanda hitam), yang asalnya dari Gana, di antaranya memang karena diberikan oleh raja Gana sebagai barter untuk anaknya bisa berkuliah di Belanda,”ungkap Lilie. “Ada juga yang ditempatkan di Bogor, bahkan anaknya yang berkuliah itu juga datang ke Nusantara dan meninggal di Bogor—sayangnya kuburannya tidak dikasih nama, hanya batu saja.”
Bagaimana rute pelayaran perdagangan rempah dan budak? Elmina merupakan pelabuhan orang Eropa sebelum mencapai Tanjung Harapan, didirikan Portugis pada 1482. Benteng ini direbut Belanda pada 1637, yang membuat koloninya berdiri pertama kali di Afrika barat. Benteng ini masih menyisakan makam Carel Hendrik Bartels, bangsawan Belanda yang berperan memperdagangkan budak untuk West Indies Company (WIC) di Benua Amerika.
Kemudian, kapal berlayar ke Tanjung Harapan. Di sinilah persinggahan dan pengurusan imigrasi untuk rute selanjutnya. Rute pertama menurut Mbeki dan van Rossum, VOC berlayar ke Madagaskar, atau Komoro di selat Mozambik, dan Mauritius di sebelah timur Madagaskar. Persinggahan ketiga tempat ini tergantung pada kondisi politik dengan penguasa atau raja setempat. Selain itu juga tergantung pada aspek hubungan politik Belanda dengan negara Eropa lainnya—Portugis, Inggris dan Prancis.
Dalam rute pertama, mereka berlabuh di Cochin untuk mendapatkan rempah atau budak yang akan dikirim ke Srilangka, Nusantara, atau Afrika Selatan. Kapal bertujuan Batavia akan singgah di Kolombo, sebelum berlayar melalui Selat Malaka atau Kepulauan Mentawai.
Pilihan untuk melewati Selat Mentawai, menurut Lilie, karena Belanda harus menghindari Portugis di Malaka dan sekutunya, Kesultanan Aceh. Setelah Portugis dikalahkan pada 1641, Selat Malaka bisa dilalui rute pelayaran kapal Belanda.
Lilie menambahkan, rute kedua adalah jalur yang sangat ekstrem yakni melewati selatan Samudra Hindia dari Afrika Selatan, lalu singgah ke Kepulauan Amsterdam—pertama kali ditemukan oleh Gubernur Jenderal VOC Anthony van Diemen pada 1633, namun kini menjadi teritori seberang laut Prancis.
Kemudian, kapal akan melanjutkan pelayaran sampai ke perairan Perth, Australia. Jalur ini berbahaya sekali, karena lautan lepas Samudra Hindia di selatan itu kondisinya diketahui sering terjadi badai dan terisolir,” ungkap Lilie. “Rute ini biasanya diambil untuk menghindari orang Portugis dan Spanyol yang ditakuti Belanda, dan sedikit yang memilih jalur ini.” Setelah itu kapal akan melewati Pulau Christmas dan Selat Sunda untuk mencapai Kota Batavia.
Akhirnya, Belanda menghapus perbudakan pada Januari 1860. Ketok palu hukum akan perbudakan ini lebih lambat daripada negara Eropa lainnya: Prancis pada 1794 lewat Konvensi Nasionalnya, dan Inggris pada 1807 yang dilanjutkan kemerdekaan budak pada 1833. Sedangkan jajahan Belanda di Hindia Barat (Curacao dan Suriname) baru dihapus pada 1863.
Masa liberalisasi ini juga menghentikan praktik tanam paksa yang berlaku sejak 1830, yang menyebabkan masyarakat desa di Hindia Belanda harus menanam tanaman komoditas yang sudah ditentukan pemerintah kolonial. Sistem ini dikritik oleh Eduard Douwes Dekker lewat buku Max Havelaar-nya yang memicu para pejabat membuat perundang-undangan agraria tahun 1870.
Baca Juga: Selidik Untung Suropati: Dari Budak VOC Sampai Pahlawan Pasuruan
Baca Juga: Merapah Rempah: Sejumput Cengkih Maluku di Rumah Tuan Puzurum
Baca Juga: Merapah Rempah: Ketika Pesona Rempah Menyimpan Bencana Pagebluk Kuno
Baca Juga: Merapah Rempah: Benarkah Lapu-Lapu Membunuh Magellan? Simak Kisahnya
Baca Juga: Kisah Pilu dan Mengenaskan Kehidupan Budak di Peradaban Romawi Kuno
Apa dampak liberalisasi dan penghapusan perbudakan itu? Ada dua pilihan bagi pengusaha Eropa terhadap budak mereka: membebaskan atau menjadikannya buruh kontrak. Kondisi ini membuat munculnya perusahaan dan calo penyedia jasa tenaga kerja. “Sistem ini mengubah dari perbudakan konvensional—free labour—menjadi perbudakangaya baru—cheap labour,” terang Lilie.
Sarmodjie dalam makalah Mengintip sejarah orang-orang Jawa di Suriname, mengungkapkan bahwa hal itu sudah terjadi di Jawa. Para calo menawarkan upah tinggi untuk pekerjaan di Suriname. “Para tenaga kerja di Suriname pada waktu itu, termasuk para TKI itu dipekerjakan di perkebunan tebu, perkebunan kakao, perkebunan kopi, dan tambang bauksit,” terangnya.
“Gaji yang diterima pekerja laki-laki usia di atas 16 tahun sebesar 60 sen dan pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen setiap harinya. Berdasarkan perjanjian, para TKI itu harus bekerja secara kontrak selama 5 tahun. Waktu kerja adalah enam hari dalam satu minggu. Setiap hari diwajibkan bekerja selama tujuh jam di perkebunan, dan 10 jam di pabrik,” tulis Sarmodjie, yang merupakan anak pekerja dan lahir di Suriname. Dia kemudian kembali ke Indonesia pada 1954 sebagai repatriat.
Pascakontrak kerja selesai, sebanyak 1.700 orang berhasil kembali ke Hindia Belanda pada 1890 hingga 1939, atas biaya Kerajaan Belanda. Sementara itu 8.120 orang pulang setelah Indonesia merdeka. Pemulangan ini dikenal masyarakat Jawa di Suriname sebagai Mulih Njowo. Namun, sebagian dari mereka menetap di Belanda menjelang kemerdekaan Suriname pada 1975.
Demikianlah, kisah sebuah jalur yang dibangun dari narasi perburuan rempah, upah, dan darah sebagai penentu arahnya.