Mata Uang Kripto Lesu! Apa Dampaknya Terkait Perubahan Iklim?

By Tri Wahyu Prasetyo, Minggu, 22 Mei 2022 | 07:00 WIB
Ilustrasi cryptocurrency atau mata uang kripto yang kini populer di dunia dan Indonesia. (AFP)

Nationalgeographic.co.id - Bukanlah hal yang mengejutkan bila penambangan Bitcoin telah memakan banyak energi listrik. Popularitas Bitcoin tentu bukan masalah sepele, terkait usaha untuk mengurangi polusi dari bahan bakar fosil. Anjloknya Bitcoin dewasa ini, apakah kabar baik bagi lingkungan?

Dilansir dari Theconversation, Proof-of-work—mekanisme kerja penambangan mata uang kripto – dalam cryptocurrency seperti Bitcoin, ethereum, dan dogecoin, telah menyebabkan dampak buruk di Bumi. Di Inggris, aktivitas tersebut menghabiskan sekitar 300 terawat (TWh) listrik berbahan bakar fosil setiap tahunya.

Bitcoin memiliki jejak karbon tahunan sekitar 114 juta ton, atau setara dengan 380.000 peluncuran roket luar angkasa. Menurut Peter Howson, seorang dosen Universitas Northumbria yang memiliki fokus dalam pembangunan internasional, mengatakan bahwa sistem Proof-of-work merupakan cara terkontrol untuk membuang energi.

“Dalam proses penambangan, untung atau rugi tergantung pada berapa banyak biaya yang telah dibayar oleh perusahaan pertambangan memasang komputer dan energi untuk menjalankan,” terang Howson, dalam tulisannya yang bertajuk "Cryptocurrency price collapse offers hope for slowing climate change – here’s how".

Penambangan kripto seperti ini memakan banyak energi. ( )

Prosesnya, komputer khusus akan menebak rangkain angka acak yang panjang. Jumlah daya komputasi yang didedikasikan untuk upaya ini disebut sebagai tingkat hash jaringan. Bagi mereka yang berhasil memenuhi target, mereka akan mendapatkan Bitcoin.

Penelitian terbaru menunjukan, ketika Tiongkok melakukan penindakan terhadap penambangan Bitcoin Agustus tahun lalu, intensitas karbon Bitcoin meningkat sekitar 17%, dengan hanya 25% penambang Bitcoin menggunakan energi terbarukan dan 60% mengandalkan batu bara dan gas alam.

Dalam beberapa kurun waktu terakhir, nilai Bitcoin mengalami penurunan sementara. Dengan turunnya Bitcoin, insentif finansial untuk membuang energi dalam rangka manambang Bitcoin seharusnya lebih rendah. “secara teori itu bagus untuk iklim,” ujar Howson, “Tapi yang mengejutkan, tingkat jaringan hash (dan jejak karbon) masih tinggi sepanjang masa, rata-rata 200 triliun hash per detik.”

Menurut Howson, bilamana nilai Bitcoin terus mengarah pada nilai yang tidak menguntungkan, penambang dengan biaya tertinggi cenderung akan menjual kepemilikan Bitcoin mereka.

Bila pasar mandek cukup lama, akan menyebabkan banyaknya jumlah penambang yang menyerah. Hal ini akan memberikan efek domino pada perusahaan pertambangan besar yang akan tutup satu demi satu. Dus, harga kripto dan emisi karbon jaringan, dengan cepat menuju nol. Dalam bahasa kripto, peristiwa ini disebut dengan spiral kematian Bitcoin.

 Baca Juga: Kisah Pria yang Selama Delapan Tahun Mencari Bitcoinnya di TPA Sampah

 Baca Juga: Mengejar Target Penggunaan Energi Terbarukan demi Karbon Netral

 Baca Juga: Saat Ini, Lautan Dunia Kehilangan 'Ingatan' Akibat Perubahan Iklim

Investor ulung mungkin menganggap bear market—kondisi pasar saham di mana harga saham sedang mengalami tren melemah atau turun—Bitcoin membosankan. Namun, penelitian menunjukkan kerugian lingkungan akibat cryptocurrency jauh lebih mengganggu.

Howson berpendapat, kerusakan yang disebabkan oleh penambangan Bitcoin secara tidak proporsional, mempengaruhi komunitas miskin dan rentan. “karena perusahaan penambangan dan pengembang kripto memanfaatkan ketidakstabilan ekonomi, regulasi yang lemah, dan akses ke energi murah.”

Penduduk setempat yang ingin menggunakan sumber daya ini untuk tujuan produktif, justru “dibeli” oleh perusahaan untuk penambangan Bitcoin. Komunitas-komunitas ini, juga cenderung menghadapi akhir yang tajam dari krisis iklim, hal ini dipicu oleh penambangan kripto.

Untuk iklim global dan ekonomi stabil, menindak kripto saat ini akan menjadi keuntungan bagi seluruh manusia. “Bilamana upaya regulasi lingkungan tidak terkoordinasi secara global atau cukup luas, kerusakan alam akibat kripto akan terus tumbuh,” pungkas Howson.