Abaikan Kebijakan, Tentara Romawi Gagal Jaga Perbatasan dari Suku Goth

By Sysilia Tanhati, Senin, 23 Mei 2022 | 14:02 WIB
Bangsa Romawi sebenarnya sudah memiliki kebijakan mengenai imigran namun diabaikan oleh tentara di perbatasan. (Eduard Bendemann)

Suku Goth lainnya yang berkumpul di Danube, Greuthungi, berada di posisi yang berbeda. Valens telah menolak permintaan utusan mereka untuk masuk ke kekaisaran.

Mereka sama putus asanya untuk menyeberang ke wilayah Romawi seperti Thervingi. Melihat bahwa Romawi kewalahan, Greuthungi menyeberangi Danube sendiri, lebih jauh ke timur.

Ketika kondisi di antara Thervingi terus memburuk, Lupicinus membuat permainan putus asa untuk menjaga mereka tetap sejalan. Dia mengundang para pemimpin mereka, Alavivus dan Fritigern, ke pesta makan malam dan segera menyandera mereka.

Ketika Thervingi mulai memberontak sebagai tanggapan, Fritigern mampu meyakinkan Lupicinus untuk membiarkannya pergi untuk menenangkan situasi.

Tetapi setelah mendapatkan kebebasannya, Fritigern mengingkari janjinya kepada Lupicinus dan memobilisasi Thervingi, yang kemudian bersekutu dengan Greuthungi.

Hasilnya adalah suku Goth yang tidak dipecah-pecah dan masih memiliki senjata pun Bersatu.

Kebijakan yang tidak dijalankan

Maka dimulailah perang enam tahun yang akan menghancurkan wilayah itu dan menyebabkan banyak orang mati, termasuk Kaisar Valens. Kaisar ini tewas melawan Goth di Pertempuran Adrianople pada tahun 378.

Perdamaian akhirnya ditengahi dengan Goth di 382 oleh Theodosius I. Ia mengizinkan suku Goth untuk menetap di wilayah Romawi sebagai federasi pemerintahan sendiri antara Danube dan pegunungan Balkan.

Tetapi sebagai negara merdeka dalam wilayah Romawi, Goth tidak pernah terintegrasi ke dalam masyarakat Romawi dan tetap menjadi sumber ketidakstabilan politik.

Kegagalan kebijakan perbatasan Romawi pada periode menjelang Pertempuran Adrianopel menjadi pelajaran. Ini menjadi pengingat bahwa kekuatan yang mendorong migrasi manusia tidak dapat dihentikan dengan kekuatan militer atau tembok perbatasan.

Sebaliknya, mereka membutuhkan kebijakan yang cerdas dan hati-hati yang mengelola arus alih-alih mencoba menahannya.

Peristiwa tahun 376 mirip dengan beberapa kasus migrasi di berbagai tempat di zaman modern. Ketika ketidakstabilan politik berlanjut dan iklim terus menghangat, semakin banyak migran akan tiba di perbatasan negara.

Kebijakan pemukiman kembali Romawi mungkin bukan solusi yang layak untuk perdebatan imigrasi saat ini. Tetapi kita bisa dari kesalahan bangsa Romawi yang mengabaikan apa yang berhasil bagi mereka di masa lalu.