Kisah Sejarah dari Balik Kanal-kanal yang Mengaliri Kota Batavia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 29 Mei 2022 | 10:00 WIB
Suasana pasar yang menggambarkan penduduk multikultural di Bata­via. Tampak Kastel Batavia yang dibangun VOC pada 1619 di tepi timur Muara Sungai Ciliwung, kini Kalibesar. Lukisan media kanvas karya Andries Beeckman, 1657. (Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda)

Cuplikan dalam litografi Jakob van der Schley (1715–1779) berdasar lukisan karya Adolf van der Laan (1690 –1742) tentang Massacre des Chinois—pembantaian orang-orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740. (Rijksmuseum Amsterdam)

Belum lagi, kanal ini menjadi titik lemah Batavia ketika Kesultanan Mataram oleh Sultan Agung menyerang. Penyerangan tahun 1628-1629 dimenangkan oleh VOC, tetapi taktik Mataram mengotori kali dan kanal sehingga menyebabkan wabah kolera di Batavia.

Karena Hindia Timur berada di kawasan rawan gempa, kanal dan dataran itu kerap kali rusak. Kondisi itu menyebabkan air kanal jadi tergenang dan membawa penyakit dan maut. Pemerintahan pusat di Batavia kemudian berpindah ke selatan, tepatnya di kawasan yang kita kenal sebagai Jakarta Pusat, dan membiarkan kanal-kanal di utara tidak terawat.

Lilie Suratminto, dekan Fakultas Sosial Humaniora di Universitas Buddhi Dharma mengatakan, pemanfaatan kanal ini juga jadi sanitasi bagi orang Batavia. Ada praktik yang disebut negen uur bloemen di setiap pukul sembilan malam.

Pada waktu itu, para budak membuang tinja majikan mereka dari tong untuk dibuang ke kanal. Para budak juga membersihkan kanal itu demi menjaga kebersihan kota. "Bersihlah Batavia pagi-paginya. Jadi, kali sudah jernih untuk cuci beras dan mandi," terang Lilie.

Euis menulis tentang kanal di Pertanika Journal of Social Sciences and Humanities tahun 2017, bersama tim. Makalah itu menjelaskan bahwa penggunaan kanal di Batavia sangat kontras antara orang pribumi dan Eropa.

Pada 1870-an Batavia memulai pipa besi untuk mendistribusikan air untuk penduduk mereka. Kebanyakan pipa ini dimanfaatkan untuk orang-orang Belanda. Sementara penduduk pribumi di perkampungan sekitar Batavia jauh dari pasokan itu, sehingga ada pemisahan akses di kota modern itu.

Peta Batavia 1627, yang direproduksi dari peta karya Frans Florisz. Berckenrode. Kini, disimpan di Tropenmuseum, Belanda. (Tropenmuseum)

"Segregasi itu terjadi dalam hal akses ruang kebersihan terhadap akses fasilitas sanitasi," terang Euis dikutip dari Vox. Di dalam makalahnya, orang pribumi harus membeli air dari pedagang kaki lima. Mereka juga sering terpaksa untuk mengambil air dari kanal yang terbengkalai yang kotor untuk mencuci, mandi, bahkan minum.

"Orang Eropa menggunakan sumur pribadi mereka sebagai sumber air bersih untuk kegiatan sehari-hari, sedangkan 'Pribumi' menggunakan saluran umum untuk keperluan sehari-hari," tulisnya di dalam makalah berjudul "Urban canals in colonial Batavia: Rethinking 'clean and dirt' space".

"Dan akhirnya sepertinya itu menjadi sebuah pembentukan mental yang seolah-olah masyarakat pribumi itu tidak mengerti sanitasi dengan peradaban yang rendah," lanjutnya.

Kebiasaan ini pun berlanjut sampai pada kemerdekaan Indonesia. Namun, tampaknya masyarakat Jakarta belum mampu meninggalkan kebiasaan orang kolonial yang memanfaatkan air tanah.

Kota ini kini berada dalam krisis masalah air bersih untuk diambil dari sumur. Ketimpangan akses itu pun masih terjadi, dan di sisi lain pengambilan air tanah membuatnya mengalami penurunan tanah sehingga air laut perlahan naik ke daratannya. Mungkinkah Jakarta bisa bertahan?