Kisah Sejarah dari Balik Kanal-kanal yang Mengaliri Kota Batavia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 29 Mei 2022 | 10:00 WIB
Suasana pasar yang menggambarkan penduduk multikultural di Bata­via. Tampak Kastel Batavia yang dibangun VOC pada 1619 di tepi timur Muara Sungai Ciliwung, kini Kalibesar. Lukisan media kanvas karya Andries Beeckman, 1657. (Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda)

Nationalgeographic.co.id - Cobalah untuk keliling kota Jakarta. Ada banyak saluran air yang kita sebut sebagai kali (sungai). Padahal, kebanyakan dari kali itu adalah kanal yang menyalurkan air untuk menghidupi kota Jakarta sejak zaman Belanda.

Pada masa sebelumnya, sungai adalah jalur penting untuk transportasi perdagangan. Di Jakarta, Sungai Ciliwung menjadi jalur untuk masuk ke pedalaman dan pasokan air tawar untuk pelabuhan Jayakarta oleh Kesultanan Banten.

Jayakarta pun beralih menjadi Batavia pada 1621 setelah Banten takluk tiga tahun sebelumnya. Kawasan ini membuat Belanda punya posisi strategis untuk melawan musuh-musuh Eropanya yang turut bercokol di Asia Tenggara.

Pengajar di Department of Art and Art History, Hope College, AS, Marsely L. Kehoe menjelaskan, "Coen memilih sebagai situsnya sebuah pelabuhan berpenghuni di pantai utara Jawa, salah satu pulau besar. Dengan menguasai lokasi ini, Belanda dapat melewati Selat Malaka yang diperebutkan dan mengatur lalu lintas yang melewati Selat Sunda."

Baca Juga: Misteri Meriam 'Cabul' Si Jagur yang Dipakai Belanda di Batavia

Baca Juga: Catatan Kelam Batavia, Sepuluh Ribu Orang Tionghoa Dibantai Kompeni

Baca Juga: Melemahnya Mataram dan Kebangkitan Orang-Orang Cina di Batavia

Kehoe menulis sejarah Batavia di dalam Journal of Historian of Netherlandish Art tahun 2015 berjudul "Dutch Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch Colonial City".

Pemanfaatan sungai pun digunakan pada kota ini oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen. Di kota ini, VOC mendirikan banyak bangunan, tembok yang mengitari kota, dan kanal yang jumlahnya kian membanyak di pertengahan abad ke-17.

Pada mulanya, VOC dan pemukiman orang Belanda terfokus di bagian utara Batavia di sekitar Kasteel Batavia. Kota itu membentang ke selatan dari benteng itu dengan kanal yang membentuk blok persegi dan tertata rapi.

"Denah kota pada peta 1681 dan 1770 berbentuk persegi empat, dibelah dua membujur oleh Sungai Ciliwung yang diluruskan, di sini disebut De Groote Rivier (Kali Besar). Kedua belahan ini diimbangi, tampaknya karena garis pantai yang tidak rata dan situasi benteng," terang Kehoe.

"Di dalam tembok, blok-blok kota dipisahkan oleh jalan-jalan dan kanal-kanal yang membentang lewat kisi-kisi. Tembok kota memiliki benteng biasa dan dilindungi oleh kanal luar. Benteng ini juga memiliki air yang mengelilinginya."

Vue de l'isle et de la ville de Batavia appartenant aux Hollandois, pour la Compagnie des Indes. (Universiteitsbibliotheek Vrije Universiteit/Wikimedia Common)

Konsep kota ini menyerupai asal tanah air mereka, di mana kota punya banyak kanal yang mengelilinginya, seperti Amsterdam. Bangunan Batavia pun mengikuti arsitektur Belanda dengan mengadaptasi iklim tropis di Hindia Timur.

Di Belanda, kanal itu masih lestari dan dimanfaatkan sampai saat ini sebagai transportasi dan perlindungan. Fungsi lain kanal adalah mengeringkan negeri-negeri rendah yang berada di bawah permukaan laut untuk memenuhi pertanian mereka. Kanal pun membuat pembagian tata letak ruang antara pemukiman, ruang terbuka, dan bangunan penting yang terhubung lewat jembatan.

"Kanal utama hanya dijembatani pada satu titik pada peta 1681, secara efektif mengisolasi bagian timur dan barat kota dari satu sama lain. Jembatan kedua, jembatan gantung kecil yang masih ada, dibangun pada 1655 di dekat kanal paling utara di bagian timur kota," tulis Kehoe.

Baca Juga: Wanita-Wanita Pezina Berdarah Asia yang Dihukum Mati di Batavia

Baca Juga: Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia

Baca Juga: Kala JP Coen Berkolusi dengan Bengkong di Batavia hingga VOC Bangkrut

Baca Juga: Belanda Melempar Tahi di Kota Batavia, Lahirlah Tanah Betawi

"Karena kanal utama adalah yang terluas, harus menampung perahu yang lebih besar, kurangnya jembatan ini dapat dipahami. Namun demikian, hal ini membuat kanal menjadi penghalang bagi pergerakan dengan berjalan kaki atau menunggang kuda atau dengan kereta."

Mengutip VoxEuis Puspita Dewi dari Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, memandang kanal yang sedikit jembatan, terutama di kanal besar, memang disengaja untuk tujuan 'gelap'. Populasi Belanda kalah jumlah dibandingkan penduduk lainnya. Tujuan kanal ini adalah membagi dan mengendalikan etnis dan ras lainnya itu.

Kota Batavia dibagi menjadi pemukiman Belanda, Eropa lainnya (biasanya Portugis), Arab dan Moor, India, Tionghoa, dan pribumi, serta budak. Pemisahan pemukiman ini yang kelak membuat ketimpangan sosial dan rasial di tempat-tempat tersebut.

Misalnya, kanal di Angke yang berada di utara Batavia. Kanal ini menjadi saksi bagaimana Geger Pacinan terjadi akibat peraturan tidak adil Belanda terhadap orang Tionghoa. Geger Pacinan itu membuat ribuan orang Tionghoa dibantai dan memerah-darahkan kanal aliran kanal ini.

Segregasi penduduk di Kota Batavia berdasarkan etnis. Pemisahan ini ditujukan agar orang Belanda bisa menguasai penduduk dengan menciptakan kanal yang sedikit memiliki jembatan. (Nationaal Archief Den Haag & Masresely L. Kehoe.)

Cuplikan dalam litografi Jakob van der Schley (1715–1779) berdasar lukisan karya Adolf van der Laan (1690 –1742) tentang Massacre des Chinois—pembantaian orang-orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740. (Rijksmuseum Amsterdam)

Belum lagi, kanal ini menjadi titik lemah Batavia ketika Kesultanan Mataram oleh Sultan Agung menyerang. Penyerangan tahun 1628-1629 dimenangkan oleh VOC, tetapi taktik Mataram mengotori kali dan kanal sehingga menyebabkan wabah kolera di Batavia.

Karena Hindia Timur berada di kawasan rawan gempa, kanal dan dataran itu kerap kali rusak. Kondisi itu menyebabkan air kanal jadi tergenang dan membawa penyakit dan maut. Pemerintahan pusat di Batavia kemudian berpindah ke selatan, tepatnya di kawasan yang kita kenal sebagai Jakarta Pusat, dan membiarkan kanal-kanal di utara tidak terawat.

Lilie Suratminto, dekan Fakultas Sosial Humaniora di Universitas Buddhi Dharma mengatakan, pemanfaatan kanal ini juga jadi sanitasi bagi orang Batavia. Ada praktik yang disebut negen uur bloemen di setiap pukul sembilan malam.

Pada waktu itu, para budak membuang tinja majikan mereka dari tong untuk dibuang ke kanal. Para budak juga membersihkan kanal itu demi menjaga kebersihan kota. "Bersihlah Batavia pagi-paginya. Jadi, kali sudah jernih untuk cuci beras dan mandi," terang Lilie.

Euis menulis tentang kanal di Pertanika Journal of Social Sciences and Humanities tahun 2017, bersama tim. Makalah itu menjelaskan bahwa penggunaan kanal di Batavia sangat kontras antara orang pribumi dan Eropa.

Pada 1870-an Batavia memulai pipa besi untuk mendistribusikan air untuk penduduk mereka. Kebanyakan pipa ini dimanfaatkan untuk orang-orang Belanda. Sementara penduduk pribumi di perkampungan sekitar Batavia jauh dari pasokan itu, sehingga ada pemisahan akses di kota modern itu.

Peta Batavia 1627, yang direproduksi dari peta karya Frans Florisz. Berckenrode. Kini, disimpan di Tropenmuseum, Belanda. (Tropenmuseum)

"Segregasi itu terjadi dalam hal akses ruang kebersihan terhadap akses fasilitas sanitasi," terang Euis dikutip dari Vox. Di dalam makalahnya, orang pribumi harus membeli air dari pedagang kaki lima. Mereka juga sering terpaksa untuk mengambil air dari kanal yang terbengkalai yang kotor untuk mencuci, mandi, bahkan minum.

"Orang Eropa menggunakan sumur pribadi mereka sebagai sumber air bersih untuk kegiatan sehari-hari, sedangkan 'Pribumi' menggunakan saluran umum untuk keperluan sehari-hari," tulisnya di dalam makalah berjudul "Urban canals in colonial Batavia: Rethinking 'clean and dirt' space".

"Dan akhirnya sepertinya itu menjadi sebuah pembentukan mental yang seolah-olah masyarakat pribumi itu tidak mengerti sanitasi dengan peradaban yang rendah," lanjutnya.

Kebiasaan ini pun berlanjut sampai pada kemerdekaan Indonesia. Namun, tampaknya masyarakat Jakarta belum mampu meninggalkan kebiasaan orang kolonial yang memanfaatkan air tanah.

Kota ini kini berada dalam krisis masalah air bersih untuk diambil dari sumur. Ketimpangan akses itu pun masih terjadi, dan di sisi lain pengambilan air tanah membuatnya mengalami penurunan tanah sehingga air laut perlahan naik ke daratannya. Mungkinkah Jakarta bisa bertahan?