Munculnya anggapan ini berdasar pada kisah saat pembangunan jalan kereta api. Kala itu, pembangunan rel banyak memakan korban jiwa. Orang-orang yang bekerja dalam pembangunan jaringan rel yang mati dianggap menjadi tumbal bagi kelancaran proyek ini.
Pembangunan rel dan moda spoorweg (kereta api) bertujuan untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman yang akan diekspor melalui pelabuhan Semarang, sekaligus memajukan pertumbuhan ekonomi penduduk pribumi di Semarang.
Baca Juga: Stasiun Ambarawa: Riwayatnya Bersama Kota Militer Hindia Belanda
Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang
Baca Juga: Kota Awal Kereta Api Menderu
kegiatan penyaluran hasil-hasil perkebunan ke pelabuhan-pelabuhan, untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri melalui pelabuhan-pelabuhan yang terletak di pantai utara Pulau Jawa seperti Tanjung Mas di Semarang dan Tanjung Priok di Jakarta.
Kereta api swasta Semarang-Vorstenlanden merupakan kereta dengan ukuran terbesar di Jawa dengan daya jelajahnya berkisar 30 km/jam.
Status spoorweg pada trayek tersebut lantas beralih fungsi. Selain mengangkut komoditas eskpor, status Gementee tahun 1906 membuat moda kereta api sebagai sarana transportasi masyarakat.
Adanya dualisme fungsi—untuk mengangkut barang dan penumpang—gerbong kereta api mulai diperbanyak dan kualitas keselamatannya semakin ditingkatkan.
Dengan cepat mobilitas masyarakat meningkat pesat. Dapat dibayangkan, di tahun-tahun tersebut, masyarakat dapat singgah ke Surakarta dari Semarang hanya dalam waktu tempuh sekitar 3,5 jam.
Dianggap dapat mendorong sejumlah peningkatan dalam industri dan mobilisasi penduduk, pada akhirnya trayek Semarang-Vorstenlanden terus diluaskan. Dari sinilah, moda kereta api di Jawa berkembang sangat pesat.