Seni Erotis Yunani dan Romawi, Cerminan Budaya yang Terobsesi Seks?

By Sysilia Tanhati, Rabu, 1 Juni 2022 | 12:00 WIB
Apakah seni erotis bangsa Yunani dan Romawi kuno mencerminkan budaya yang terobsesi dengan seks? (Karli Rastetter/Unsplash)

Nationalgeographic.co.id—Seni erotis adalah bentuk kesenian yang populer dalam kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Seni ini biasa berupa patung atau lukisan erotis dan penggambaran alat kelamin, khususnya lingga. Sederhananya, seks ada di mana-mana dalam seni Yunani dan Romawi.

Apakah seni erotis ini mencerminkan budaya yang terobsesi dengan seks? Penggambaran seksualitas dan aktivitas seksual dalam seni Yunani dan Romawi tampaknya memiliki beragam kegunaan.

Tanggapan masyarakat modern terhadap seni erotis Yunani dan Romawi kuno

Di abad ke-17 dan ke-18, orang mulai mengoleksi benda seni. Namun, keterbukaan terhadap erotisme dalam seni kuno membuat bingung orang di masa itu. Kebingungan ini semakin meningkat ketika penggalian dimulai di kota-kota Romawi yang ditemukan kembali, seperti Pompeii dan Herculaneum.

Pengekangan dan penindasan. Begitu respons modern terhadap seksualitas klasik dalam seni yang digambarkan Gabinetto Segreto dari Museo Archeologico Nazionale di Napoli. Gabinetto Segreto atau Secret Room didirikan pada tahun 1819. Saat itu Francis I, Raja Napoli, mengunjungi museum bersama istri dan putrinya.

Terkejut dengan gambaran sangat eksplisit, ia memerintahkan semua karya yang bersifat seksual dihapus dari pandangan. Terkunci di dalam lemari, akses terhadap seni erotis dibatasi untuk para ahli. Kriterianya adalah usia dewasa dan moralnya dihormati, ini berarti terbatas pada peneliti laki-laki saja.

Di Pompeii, seni erotis seperti lukisan dinding rumah bordil dipertahankan namun diberi penutup. Penutup jendela ini membatasi akses hanya untuk turis pria yang bersedia membayar biaya tambahan. Ini berlangsung hingga tahun 1960-an.

“Semakin ditutupi dan dibatasi aksesnya, Gabinetto Segreto ini justu makin tenar,” ungkap Craig Barker dilansir dari laman The Conversion.

John Murray dalam buku panduan untuk Italia Selatan dan Napoli (1853) dengan halus menyatakan bahwa izin sangat sulit diperoleh. “Karena itu sangat sedikit yang pernah melihat koleksinya. Mereka yang pernah berkunjung, tidak punya keinginan untuk mengulanginya.”

Gabinetto Segreto dibuka untuk umum pada tahun 2000, meskipun ada protes dari Gereja Katolik. Sejak 2005, koleksi tersebut dipajang di ruang tersendiri. Benda-benda itu masih belum dipersatukan kembali dengan artefak non-seksual kontemporer lainnya.

Bukan hanya patung dan lukisan yang terkena sensor, karya sastra pun terkena imbasnya. Penerjemahan drama Aristophanes ‘disesuaikan’ untuk mengaburkan konteks seksual.

Penyensoran seksualitas pada karya seni kuno juga ditemukan pada upaya menghilangkan alat kelamin patung-patung kuno. “Museum Vatikan cukup terkenal dalam hal ini,” tambah Barker. Mengubah seni erotis klasik dilakukan demi moral dan kepekaan kontemporer. Ukiran daun ara ditempelkan untuk menutupi alat kelamin adalah hal yang sering dilakukan.

Ini juga menunjukkan bagaimana manusia modern mengasosiasikan ketelanjangan dengan seksualitas. Jika terjadi di zaman kuno, ini tentu akan membingungkan bangsa Romawi dan Yunani. Karena mereka menganggap bentuk tubuh sebagai suatu kesempurnaan.

Jadi, apakah selama ini kita salah mengartikan seksualitas kuno?

Lingga dan kesuburan

Meskipun perempuan yang telanjang juga sering ditemukan, simbolisme lingga adalah pusat dari banyak seni kuno. Lingga sering digambarkan pada Hermes, Pan, Priapus atau dewa serupa di berbagai bentuk seni.

Herm atau blok batu dengan kepala ini ditempatkan di perbatasan untuk perlindungan. (National Archaeological Museum of Athens)

Alih-alih terlihat erotis, simbolismenya dikaitkan dengan perlindungan, kesuburan, dan bahkan penyembuhan.

Herm adalah blok batu dengan pahatan kepala di atasnya. Di blok tersebut diukir lingga. Herm ditempatkan di perbatasan untuk perlindungan.

Sebuah lukisan dinding terkenal dari House of the Vetti di Pompeii menggambarkan Priapus. Ia adalah dewa kecil, penjaga ternak, tanaman, dan kebun. Di lukisan itu, sang Dewa memiliki penis besar, memegang sekantong koin, dan memiliki semangkuk buah di kakinya. Peneliti Claudia Moser menulis, “Gambar itu mewakili tiga jenis kemakmuran. Yaitu pertumbuhan (anggota besar), kesuburan (buah), dan kemakmuran (kantong uang).”

     

Baca Juga: Telusur Ragam Simbol dan Kedudukan Wanita di Zaman Yunani Kuno

Baca Juga: Adikarya Peradaban Yunani Kuno: Fakta, Arsitektur, dan Sejarah

Baca Juga: Seperti Arisan, Orang Yunani Mengundi Pejabat: Bisakah untuk Pemilu ?

Baca Juga: Awal Konflik Besar Yunani-Persia: Pertempuran Maraton yang Legendaris

     

Selain itu, Anda sering menemukan bentuk penis yang kecil dalam patung dewa dan pahlawan. Bagi masyarakat kuno, ukuran penis yang kecil lebih dihargai. Apa sebabnya?

Barker juga menuturkan, “Semua representasi penis besar dalam seni klasik dikaitkan dengan nafsu dan kebodohan.” Priapus dihina oleh dewa-dewa lain sehingga dia dibuang dari Gunung Olympus. Lebih besar belum tentu lebih baik bagi orang Yunani dan Romawi.

Ini mungkin mengejutkan pecinta seni kuno. Mereka mendapatkan fakta bahwa bangsa Yunani dan Romawi yang begitu dikagumi juga punya kebutuhan dan keinginan seksual. Namun saat menekankan aspek seksual dari seni, mereka meremehkan peran non-seksual dari simbol lingga dalam seni kuno.

Jadi erotisme dalam seni Yunani dan Romawi tidak semata-mata sebagai pembangkit gairah semata. Ini juga melambangkan harapan akan berbagai hal, seperti perlindungan dan kesuburan.