Susuri Jalan Raya Pos, Singkap Selimut Fakta dan Fiksi Daendels

By National Geographic Indonesia, Kamis, 2 Juni 2022 | 14:00 WIB
Ady Setyawan singgah di Lasem, pecinan di tepian Jalan Raya Pos. 'Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos' merupakan program #SayaPejalanBijak yang menggandeng Intisari dan National Geographic Indonesia, didukung oleh Royal Enfield. (Hadi Saputro)

Oleh Ady Setyawan—Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos

    

Nationalgeographic.co.id—Seribu kilometer bukanlah jarak yang pendek. Ruas demi ruas Jalan Raya Pos menyisakan ruang historiografi. Setiap petualang yang mencatatkan memoarnya memiliki alasannya masing-masing—selera dan tujuan si petualang yang teramu dengan situasi politik saat itu. 

Dalam penyusuran Jalan Raya Pos, kami singgah di Depok. Beruntung, saya berkesempatan berbincang bersama sejarawan JJ Rizal. Menurutnya, saat ini ada upaya memopulerkan kembali kejayaan si Daendels. Namun, dia berpesan bahwa kisah antara mitos dan fakta hendaknya diberikan garis batas yang jelas.

Mari kita awali cerita ini dengan tokoh di balik Jalan Raya Pos yang legendaris: Herman Willem Daendels. Sosok ini masuk ke wilayah Nusantara dengan cara menyelundupkan diri secara diam-diam. Saat itu Inggris telah menguasai lautan, sehingga ia harus menyamar dengan  menggunakan nama istrinya; Van Vlierden.

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mengungkapkan bahwa Daendels harus menempuh jalur darat dari Paris, Lisboa hingga Cadiz di Spanyol Selatan. Dari sini ia menyeberang ke Kepulauan Canari selanjutnya naik kapal ke New York.

Mengapa harus sejauh itu? Karena situasi politik dunia sedang terjadi perang antara Prancis melawan Persekutuan Eropa, sementara itu Amerika bersikap netral. Mengapa harus New York? Karena dari sanalah tersedia kapal yang berlayar menuju Jawa.

Ketika tiba di Jawa, ia menghadapi kuasa lautan oleh Inggris. Satu-satunya jalan yang ditempuhnya adalah mempertahankan Jawa dengan kekuatan darat. Ia kemudian membangun benteng-benteng dan menyambungkannya dengan jalan darat yang mudah di akses, memudahkan pergerakan pasukan sekaligus menguras kekayaan alam demi keuangan kolonial. 

Rizal menceritakan pada saya tentang buku karya Sartono Kartodirdjo berjudul Pengantar Sejarah Indonesia Baru, yang terbit pada 1977. Sartono menulis, "Untuk keperluan pembangunan proyek raksasa Jalan Raya Pos dibutuhkan tenaga rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplichte diensten) dipertahankan. Disamping itu, sistem penyerahan wajib (verplichte leveranties) juga masih berlaku."

Pada 2014, Jan C. Breman mengungkapkan dalam bukunya bertajuk Keuntungan Kolonial dan Kerjapaksa. Dia menulis, "Kebanyakan pembaruan Daendels cuma berada di meja tulis. Tak perlu jauh-jauh membicarakan upah, sebab yang terjadi di lapangan sekedar kerja paksa massal." 

Kembali Rizal menceritakan sebuah karya buku yang sangat tebal karya De Haan, seorang arsiparis, yang bertajuk Priangan: de Preanger- Raegentschapen onder het Nederlandsch bestuur tot 1811. De Haan menyebutkan "Daendels secara sah adalah peletak dasar sistem Priangan, suatu model pemaksaan yang kelak menginspirasi Cultuur Stelsel alias tanam paksa, sistem eksploitasi paling brutal dalam sejarah.”

Lebih jauh lagi, De Haan menuliskan bahwa Jalan Raya Pos sebagian besar dikerjakan tanpa membebani kas negara. Rencana menyewa kuli-kuli untuk jalur yang sulit hanya sekedar rencana. Rakyat Priangan dikerahkan tanpa upah bahkan tanpa makanan.