Oleh Ady Setyawan—Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos
Nationalgeographic.co.id—Seribu kilometer bukanlah jarak yang pendek. Ruas demi ruas Jalan Raya Pos menyisakan ruang historiografi. Setiap petualang yang mencatatkan memoarnya memiliki alasannya masing-masing—selera dan tujuan si petualang yang teramu dengan situasi politik saat itu.
Dalam penyusuran Jalan Raya Pos, kami singgah di Depok. Beruntung, saya berkesempatan berbincang bersama sejarawan JJ Rizal. Menurutnya, saat ini ada upaya memopulerkan kembali kejayaan si Daendels. Namun, dia berpesan bahwa kisah antara mitos dan fakta hendaknya diberikan garis batas yang jelas.
Mari kita awali cerita ini dengan tokoh di balik Jalan Raya Pos yang legendaris: Herman Willem Daendels. Sosok ini masuk ke wilayah Nusantara dengan cara menyelundupkan diri secara diam-diam. Saat itu Inggris telah menguasai lautan, sehingga ia harus menyamar dengan menggunakan nama istrinya; Van Vlierden.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mengungkapkan bahwa Daendels harus menempuh jalur darat dari Paris, Lisboa hingga Cadiz di Spanyol Selatan. Dari sini ia menyeberang ke Kepulauan Canari selanjutnya naik kapal ke New York.
Mengapa harus sejauh itu? Karena situasi politik dunia sedang terjadi perang antara Prancis melawan Persekutuan Eropa, sementara itu Amerika bersikap netral. Mengapa harus New York? Karena dari sanalah tersedia kapal yang berlayar menuju Jawa.
Ketika tiba di Jawa, ia menghadapi kuasa lautan oleh Inggris. Satu-satunya jalan yang ditempuhnya adalah mempertahankan Jawa dengan kekuatan darat. Ia kemudian membangun benteng-benteng dan menyambungkannya dengan jalan darat yang mudah di akses, memudahkan pergerakan pasukan sekaligus menguras kekayaan alam demi keuangan kolonial.
Rizal menceritakan pada saya tentang buku karya Sartono Kartodirdjo berjudul Pengantar Sejarah Indonesia Baru, yang terbit pada 1977. Sartono menulis, "Untuk keperluan pembangunan proyek raksasa Jalan Raya Pos dibutuhkan tenaga rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplichte diensten) dipertahankan. Disamping itu, sistem penyerahan wajib (verplichte leveranties) juga masih berlaku."
Pada 2014, Jan C. Breman mengungkapkan dalam bukunya bertajuk Keuntungan Kolonial dan Kerjapaksa. Dia menulis, "Kebanyakan pembaruan Daendels cuma berada di meja tulis. Tak perlu jauh-jauh membicarakan upah, sebab yang terjadi di lapangan sekedar kerja paksa massal."
Kembali Rizal menceritakan sebuah karya buku yang sangat tebal karya De Haan, seorang arsiparis, yang bertajuk Priangan: de Preanger- Raegentschapen onder het Nederlandsch bestuur tot 1811. De Haan menyebutkan "Daendels secara sah adalah peletak dasar sistem Priangan, suatu model pemaksaan yang kelak menginspirasi Cultuur Stelsel alias tanam paksa, sistem eksploitasi paling brutal dalam sejarah.”
Lebih jauh lagi, De Haan menuliskan bahwa Jalan Raya Pos sebagian besar dikerjakan tanpa membebani kas negara. Rencana menyewa kuli-kuli untuk jalur yang sulit hanya sekedar rencana. Rakyat Priangan dikerahkan tanpa upah bahkan tanpa makanan.
Hendi Jo, seorang penulis buku spesialis masa revolusi terutama di Jawa Barat, mencatat pula bahwa tanam paksa adalah program pemerasan Belanda yang paling sukses. Dari perberbincangannya dengan Peter Carey, sejarawan Inggris yang mendalami Jawa, Hendi mendapat keterangan tentang jumlah keuntungan Belanda. Berkat sistem tanam paksa, Belanda meraup keuntungan 832 juta gulden, setara 75,5 milyar dollar Amerika hari ini. Apabila kita menggunakan kurs rupiah, nilainya setara dengan Rp1.377.916.876.797.771,00!
Sungguh angka yang fantastis. Berapakah uang yang diterima petani kopi? Breman mencatat bahwa upah per pikul sesuai aturan resmi amatlah rendah: Empat rijksdaalder per pikul. Sulit untuk mencari angka padanannya, tetapi ia menambahkan bahwa besaran upah itu tidak realistis.
Kembali mencerna perkataan Rizal tentang glorifikasi Daendels. Saya pikir perkara ini tidak hanya terjadi akhir-akhir ini. Sejatinya Daendels membayar seluruh pekerja, namun dikorupsi oleh para pimpinan pribumi. Pramoedya menulis bahwa sosok ini sudah menjadi kontroversi sejak pertengahan abad ke-19.
Ketika Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos tiba di penanda Nol Kilometer Bandung, tertera keterangan perkataan Daendels, “Zorg, dat hier als ik ben terug een stad is gebouwd!” —"Pastikan sebuah kota dibangun di sini ketika aku kembali!"
Daendels yang perkasa ini menancapkan sebuah kayu dan meminta ketika dia kembali, maka sebuah kota harus dibangun. Saat pertama mendengar kisah ini saya teringat salah satu cerita rakyat setempat: Situ Bagendit, sebuah tongkat yang ditancapkan kemudian menjadi danau besar. Juga kisah-kisah cerita rakyat sejenis dari daerah lain. Terdengar perkasa, luar biasa, dan hiperbola.
Saya menemui Atep Kurnia, penulis lebih dari 20 buku tentang sejarah kawasan Priangan. Ia telah melakukan penelusuran sumber, yang tampaknya kalimat Daendels itu banyak diambil dari dua buku legendaris. Buku karya Haryoto Kunto, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe yang terbit pada 1984, dan buku Semerbak Bunga di Bandung Raya yang terbit pada 1986. Menurut Atep, kedua buku ini mengutip buku karya Victor Ido, Indie in den goeden ouden tijd, terbitan 1935.
Dari penelusuran pustaka, Atep mendapatkan jejak perkataan Daendels yang dikutio pada 1925. Saat itu organisasi-organisasi, di antaranya Paguyuban Pasundan, Osvianen Bond, Goena Perniagaan dan lain-lain, mengusulkan agar ibukota Provinsi Jawa Barat (yang baru dibentuk) adalah Bandung sebagai "Het middlepunt van de Pasoendan" (titik tengah Pasundan). Usulan ini dimuat dalam De Indische Gids vol II pada 1925, yang juga dimuat secara bersambung dalam De Nieuwe Vorstenlanden edisi 4-6 Mei 1952. Ungkapan ini juga dikutip dalam Oude Bandoeng gesticht in 1488 oleh W.H Hoogland.
Rizal sempat menyampaikan kepada saya sebelum melanjutkan perjalanan. "Jangan lupakan keberadaan Vereeniging Touristen Verkeer, mereka punya peran dan kepentingan," pesannya mewanti-wanti.
VTV adalah organisasi bentukan pemerintah kolonial untuk menggali pundi-pundi dari sektor wisata Hindia Belanda, yang didirikan sejak 1908. Meramu kisah keperkasaan Daendels antara kisah rakyat dan jalan raya pos yang melegenda tentunya hal menarik bagi organisasi ini.
Sosok Daendels seolah memiliki citra yang dikemas ulang pada zaman-zaman setelahnya. Pramoedya dalam bukunya mencatat, "Di balik sebutan pengalas dasar perombakan di Hindia dan penggalan Jalan Raya Pos, Daendels merupakan seorang berhati baja sekaligus berkepala angin yang tak punya kemampuan berargumentasi, ia akan langsung mengancam dengan bentakan."
Baca Juga: Preangerstelsel: Saat Kopi jadi Kekuatan Ekonomi di Hindia-Belanda
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda
Baca Juga: Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos, Mengungkap Sisi Lain Histori Kota
Baca Juga: Mengapa Jalan Raya Pos Berbelok Melewati Bogor, Cipanas, dan Bandung?
Pram melanjutkan kisahnya, "Di bidang kemiliteran, bidangnya sendiri, ia mulai dipertanyakan keunggulannya. Sebagai administrator yang hebat? Pemberontakan Cirebon dan Banten disodorkan sebagai bukti kegoblokannya. Demikian halnya dengan pembangkangan Sultan Sepuh Yogyakarta, dinilai sebagai akibat kecerobohan dan ketidaktahuannya tentang tradisi kolonial. Maksudnya bahwa penjajahan Eropa atas Hindia justru memanfaatkan sistem feodal."
Lalu dia menambahkan, "Sebagai perombak tata hukum di Hindia? Justru dialah pelanggar hukum nomor wahid melalui pembunuhan langsung dan tak langsung atas ribuan pribumi."
Sejarah memang akan selalu memiliki dua sisi. Bagi sebagian orang, Daendels adalah seorang jenius yang jelas-jelas bekerja efisien dalam menguras kekayaan Hindia. Dari sudut pandang lain, ia tak pernah peduli pada ribuan nyawa pribumi yang mati terkapar sepanjang Jawa. Selamat memilih dan menelaah sumber.
Pada 25 Mei 2022, Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos bermula. Perjalanan dengan dua jentera ini berawal dari Anyer, menyinggahi beberapa kota dan berakhir di Panarukan. Perhelatan ini merupakan program #SayaPejalanBijak yang menggandeng Intisari dan National Geographic Indonesia, serta didukung oleh Royal Enfield. Simak jurnal hariannya di akun Instagram @SayaPejalanBijak dan @IntisariOnline.