Hendi Jo, seorang penulis buku spesialis masa revolusi terutama di Jawa Barat, mencatat pula bahwa tanam paksa adalah program pemerasan Belanda yang paling sukses. Dari perberbincangannya dengan Peter Carey, sejarawan Inggris yang mendalami Jawa, Hendi mendapat keterangan tentang jumlah keuntungan Belanda. Berkat sistem tanam paksa, Belanda meraup keuntungan 832 juta gulden, setara 75,5 milyar dollar Amerika hari ini. Apabila kita menggunakan kurs rupiah, nilainya setara dengan Rp1.377.916.876.797.771,00!
Sungguh angka yang fantastis. Berapakah uang yang diterima petani kopi? Breman mencatat bahwa upah per pikul sesuai aturan resmi amatlah rendah: Empat rijksdaalder per pikul. Sulit untuk mencari angka padanannya, tetapi ia menambahkan bahwa besaran upah itu tidak realistis.
Kembali mencerna perkataan Rizal tentang glorifikasi Daendels. Saya pikir perkara ini tidak hanya terjadi akhir-akhir ini. Sejatinya Daendels membayar seluruh pekerja, namun dikorupsi oleh para pimpinan pribumi. Pramoedya menulis bahwa sosok ini sudah menjadi kontroversi sejak pertengahan abad ke-19.
Ketika Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos tiba di penanda Nol Kilometer Bandung, tertera keterangan perkataan Daendels, “Zorg, dat hier als ik ben terug een stad is gebouwd!” —"Pastikan sebuah kota dibangun di sini ketika aku kembali!"
Daendels yang perkasa ini menancapkan sebuah kayu dan meminta ketika dia kembali, maka sebuah kota harus dibangun. Saat pertama mendengar kisah ini saya teringat salah satu cerita rakyat setempat: Situ Bagendit, sebuah tongkat yang ditancapkan kemudian menjadi danau besar. Juga kisah-kisah cerita rakyat sejenis dari daerah lain. Terdengar perkasa, luar biasa, dan hiperbola.
Saya menemui Atep Kurnia, penulis lebih dari 20 buku tentang sejarah kawasan Priangan. Ia telah melakukan penelusuran sumber, yang tampaknya kalimat Daendels itu banyak diambil dari dua buku legendaris. Buku karya Haryoto Kunto, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe yang terbit pada 1984, dan buku Semerbak Bunga di Bandung Raya yang terbit pada 1986. Menurut Atep, kedua buku ini mengutip buku karya Victor Ido, Indie in den goeden ouden tijd, terbitan 1935.
Dari penelusuran pustaka, Atep mendapatkan jejak perkataan Daendels yang dikutio pada 1925. Saat itu organisasi-organisasi, di antaranya Paguyuban Pasundan, Osvianen Bond, Goena Perniagaan dan lain-lain, mengusulkan agar ibukota Provinsi Jawa Barat (yang baru dibentuk) adalah Bandung sebagai "Het middlepunt van de Pasoendan" (titik tengah Pasundan). Usulan ini dimuat dalam De Indische Gids vol II pada 1925, yang juga dimuat secara bersambung dalam De Nieuwe Vorstenlanden edisi 4-6 Mei 1952. Ungkapan ini juga dikutip dalam Oude Bandoeng gesticht in 1488 oleh W.H Hoogland.
Rizal sempat menyampaikan kepada saya sebelum melanjutkan perjalanan. "Jangan lupakan keberadaan Vereeniging Touristen Verkeer, mereka punya peran dan kepentingan," pesannya mewanti-wanti.
VTV adalah organisasi bentukan pemerintah kolonial untuk menggali pundi-pundi dari sektor wisata Hindia Belanda, yang didirikan sejak 1908. Meramu kisah keperkasaan Daendels antara kisah rakyat dan jalan raya pos yang melegenda tentunya hal menarik bagi organisasi ini.
Sosok Daendels seolah memiliki citra yang dikemas ulang pada zaman-zaman setelahnya. Pramoedya dalam bukunya mencatat, "Di balik sebutan pengalas dasar perombakan di Hindia dan penggalan Jalan Raya Pos, Daendels merupakan seorang berhati baja sekaligus berkepala angin yang tak punya kemampuan berargumentasi, ia akan langsung mengancam dengan bentakan."