Berawal dari Pertukaran Sederhana, Jalur Sutra Mengubah Dunia

By Sysilia Tanhati, Rabu, 8 Juni 2022 | 08:00 WIB
Dinasti Han melihat keuntungan dari perdagangan ke barat, terutama prospek mendapatkan kuda Fergana yang unggul. (Wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Perdagangan menghubungkan Tiongkok dan dunia Romawi di sepanjang Jalur Sutra. Bukan cuma perdagangan, terjadi pertukaran kebijaksanaan dan kepercayaan yang kuat di sepanjang jalur ini.

Lembut, kuat, dan berkilau. Kain sutra pertama kali diproduksi di Tiongkok sekitar pertengahan milenium ketiga Sebelum Masehi. Seni mengubah kepompong ulat sutra (Bombyx mori), menurut legenda, ditemukan oleh istri Kaisar Huang Di. Saat minum teh di bawah naungan pohon murbei, kepompong jatuh ke cangkirnya. Alih-alih membuangnya, dia justru dapat mengurai seutas benang dari kepompong tersebut.

Secara tradisional, produksi sutra dipercayakan kepada wanita Tiongkok dan dianggap sebagai rahasia negara. Siapa saja yang mengungkap metode rahasia dari pembuatan kain sutra diganjar dihukum mati. Berabad-abad kemudian, benang sutra menjalin jaringan perdagangan yang luas, menghubungkan tanah Tiongkok dengan Romawi.

Pada abad ke-19, ahli geografi Jerman Ferdinand von Richthofen mencari istilah untuk menggambarkan rute perdagangan ini. Tampaknya tepat untuk menamakannya sesuai dengan komoditas yang memicu terbentuknya rute ini. Istilah Richthofen, ‘Jalur Sutra,’ pun digunakan sejak abad ke-19.

Rute ini diawali oleh perdagangan sederhana yang akhirnya mengubah dunia.

Di luar Tembok

Awalnya, orang Tiongkok tidak berusaha untuk menjual sutra ke luar wilayan mereka. Namun akhirnya keadaanlah yang memaksa mereka untuk melakukan perdagangan.

Pada akhir abad ketiga Sebelum Masehi, Kaisar Qin Shi Huang Di memulai pembangunan Tembok Besar. Ini dilakukan untuk menghentikan serangan suku nomaden Xiongnu. Seiring waktu, tembok tersebut tidak terlalu berhasil untuk melindungi wilayah.

Maka pendekatan lain pun dilakukan. Kaisar bersekutu dengan suku Yeuzhi yang merupakan musuh suku Xiongnu.

Zhang Qian, seorang perwira muda penjaga istana kaisar, ditunjuk sebagai pemimpin misi diplomatik. Alih-alih mencapai Yuezhi, ia ditanggap pasukan Xiongnu dan baru kembali ke Tiongkok 13 tahun kemudian.

Selama 13 tahun itu, ia belajar banyak tentang tanah misterius di barat: India dan Kekaisaran Parthia. Di Lembah Fergana, di utara Hindu Kush, dia mengamati kuda yang jauh lebih besar daripada yang ada di Tiongkok.

Perwira muda ini pun menyadari bahwa kuda besar ini bisa menjadi aset berharga bagi pasukan Tiongkok. Selama di Parthia, ia juga melakukan kontak dengan sisa-sisa budaya Helenis peninggalan Alexander Agung. Ini menandai kontak besar pertama antara Tiongkok dan masyarakat Indo-Eropa. Yang terpenting dari semuanya, dia berhasil mengidentifikasi minat untuk sutra.