Jejak Majapahit di Bromo: Suku Tengger dan Kehidupan Sosial-Budayanya

By Galih Pranata, Sabtu, 11 Juni 2022 | 07:00 WIB
Masyarakat yang sedang menunggu rejeki dari persembahan masyarakat suku Tengger. (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.idDari Gunung Bromo yang dingin, hidup masyarakat yang dikenal sebagai suku Tengger. Mereka bukan suku primitif, suku terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa lainnya.

"Jumlah mereka tidak banyak, yakni sekitar 100.000 dari jumlah penduduk Jawa yang lebih kurang 100.000.000," tulis Ayu Sutarto dalam makalah yang disampaikan pada pembekalan Jelajah Budaya 2006.

Makalahnya berjudul Sekilas tentang Masyarakat Tengger yang disampaikan dalam acara yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7 – 10 Agustus 2006.

Keberadaannya di Bromo diperkirakan telah ada sejak era Hindu Kuno berkembang di Nusantara. Bahkan keberadaannya telah dibuktikan oleh masyarakat kolonial, termasuk pejabat tinggi Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles.

Raffles sangat mengagumi orang Tengger. Dalam The History of Java (1830) gubahannya, ia mengemukakan bahwa pada saat berkunjung ke tempat yang sejuk itu, ia melihat orang Tengger yang hidup dalam suasana damai.

Menariknya, keberadaan masyarakat Tengger di Bromo bukan semata-mata kebetulan. Eksistensinya dikaitkan dengan kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara, Majapahit.

Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah penanjakan yang termasuk Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan.

Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929 M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang—orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata.

Prasasti tersebut diperkirakan merupakan hadiah dari Bathara Hyang Wekas in Sukha (Hayam Wurukraja terbesar Majapahit) pada bulan Asada. Dari sini, hampir tergambar adanya benang merah, keterikatan Tengger dengan Majapahit.

Jika ditelusur lagi, penamaan "Walandhit" pernah ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Negarakertagama. Nama Walandhit yang bertalian dengan tempat tinggal orang Tengger, merupakan nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit dalam kitabnya. 

 Baca Juga: Dari Editor Juni 2019: Raffles dan Refleksi Kebinekaan di Tengger

 Baca Juga: Kata Ahli Jadi Fenomena Biasa, Wisatawan Berlomba Abadikan Embun Beku di Bromo dan Semeru

 Baca Juga: Bagaimana Panji Angreni Menggambarkan Watak Orang Jawa Semestinya?

"Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit," sambung Ayu.

Meskipun belum tentu orang Tengger merupakan keturunan Majapahit, terdapat asumsi yang meyakini bahwa Walandhit merupakan tempat para pengungsi dari Majapahit bebaur sosial dengan orang Tengger.

Setelah gempuran Demak yang melemahkan Majapahit, banyak diantara orang Majapahit melarikan diri ke Walandhit di Bromo. Kemungkinan terdekat, mereka bertemu dengan orang Tengger dan menjalin ikatan sosial yang erat di sana.

Masyarakat yang sedang berebut rejeki berupa uang dari persembahan masyarakat suku Tengger. (Yunaidi Joepoet)

Hal itu dapat dilihat dari ritus keagamaan orang-orang Tengger yang hampir persis dengan ritusnya masyarakat Majapahit. Seperti halnya dengan upacara entas-entas.

Upacara adat ini adalah bagian dari ritus Tengger yang masih eksis. "Dalam upacara adat ini api penyucian dari Dewa Siwa dan Dewi Uma digunakan untuk menyucikan arwah manusia agar sang arwah dapat naik ke kahyangan," lanjutnya.

Sebelum diberangkatkan, sang arwah ditempatkan di dalam sebuah kuali maron yang merupakan simbolisasi dari kawah Gunung Bromo. Terlepas dari keterikatan budayanya, perkawinan sosial Tengger dan Majapahit juga jadi alasan masih adanya Majapahit di Bromo.

Hari ini, meskipun digempur arus globalisasi, rakyat Tengger tetap teguh memegang budayanya. Salah satunya, para dukun Tengger masih tetap berperan sebagai pewaris aktif tradisi Walandhit dan Majapahit," pungkas Ayu.