Nationalgeographic.co.id—"Redup, hampir gelap," begitulah ungkap Purnawan Basundoro dalam Webinar 121 Tahun Soekarno yang diselenggarakan Masyarakat Sejarawan Indonesia pada 10 Juni 2022.
Purnawan Basundoro menggambarkan kondisi kos Koesno Sosrodihardjo yang kemudian dikenal dengan julukan bung Karno. Dari sebuah kos sederhana milik pak Cokro—sebutan untuk H.O.S. Tjokroaminoto—terbentuklah kepribadiannya.
Tercatat sejak tahun 1912, pak Cokro dan istrinya membuka sebagian rumah mereka untuk disewakan sebagai kos-kosan, utamanya bagi anak sekolah. Kosnya berada di Peneleh, tempat anak-anak HBS (Hogere Burgerschool) bersekolah.
Koesno yang kala itu baru berusia 15 tahun, merupakan salah satu siswa HBS. Ia memutuskan untuk tinggal di kos milik pak Cokro. Di sana, ia berada satu atap dengan "Alimin, Muso, Semaun, dan Kartosuwiryo," imbuh Purnawan.
M. Ridwan Lubis menulis dalam bukunya berjudul Sukarno & Modernisme Islam (2010), menyebut bahwa kos Soeharsikin (istri dari Tjokroaminoto) dikenal sebagai markas Sarekat Islam.
"Tak heran, hal itu mendorong kos pak Cokro jadi gelanggang adu ideologi antara tamu-tamunya, termasuk para penghuni kosnya," tambah Lubis.
Lingkungan kos tampaknya yang membuat Soekarno menjadi bergairah dalam berprinsip dan berideologi. Ia juga dikenalkan oleh bapak kosnya tentang pemikiran-pemikiran dunia. Darinyalah Soekarno meminjam buku-buku pemikiran yang selalu ia lahap habis.
Dibawalah buku-buku pak Cokro kekamarnya. Di sebuah kamar yang redup, hanya diterangi pencahayaan lampu minyak, pemikiran Soekarno mengelana.
Soekarno mengakui bahwa dengan membaca buku yang ditulis oleh para tokoh besar dunia telah menjadikan: "pemikiran mereka sebagai pikiranku." Meski baru berusia remaja, buku-buku itu telah melahirkan sosok "Soekarno" yang dicatat dalam sejarah.
Baca Juga: Peran Sarekat Islam sebagai Mediator Perkecuan di Surakarta Abad ke-20
Baca Juga: Tentara Rakyat Mataram dan Perang Revolusi Pasca Kemerdekaan
Baca Juga: Sutan Muhammad Amin, Salah Satu Tokoh Sumpah Pemuda yang Berjasa