Dari Redupnya Lampu Minyak dan Buku, Soekarno Menjelma Negarawan

By Galih Pranata, Sabtu, 11 Juni 2022 | 13:00 WIB
Potret Soekarno tengah membaca buku dalam buku berjudul Total Bung Karno: Serpihan Sejarah yang Tercecer (2013) karya Roso Daras. (Total Bung Karno: Serpihan Sejarah yang Tercecer/Roso Daras)

Nationalgeographic.co.id"Redup, hampir gelap," begitulah ungkap Purnawan Basundoro dalam Webinar 121 Tahun Soekarno yang diselenggarakan Masyarakat Sejarawan Indonesia pada 10 Juni 2022.

Purnawan Basundoro menggambarkan kondisi kos Koesno Sosrodihardjo yang kemudian dikenal dengan julukan bung Karno. Dari sebuah kos sederhana milik pak Cokrosebutan untuk H.O.S. Tjokroaminototerbentuklah kepribadiannya.

Tercatat sejak tahun 1912, pak Cokro dan istrinya membuka sebagian rumah mereka untuk disewakan sebagai kos-kosan, utamanya bagi anak sekolah. Kosnya berada di Peneleh, tempat anak-anak HBS (Hogere Burgerschool) bersekolah.

Koesno yang kala itu baru berusia 15 tahun, merupakan salah satu siswa HBS. Ia memutuskan untuk tinggal di kos milik pak Cokro. Di sana, ia berada satu atap dengan "Alimin, Muso, Semaun, dan Kartosuwiryo," imbuh Purnawan.

M. Ridwan Lubis menulis dalam bukunya berjudul Sukarno & Modernisme Islam (2010), menyebut bahwa kos Soeharsikin (istri dari Tjokroaminoto) dikenal sebagai markas Sarekat Islam.

"Tak heran, hal itu mendorong kos pak Cokro jadi gelanggang adu ideologi antara tamu-tamunya, termasuk para penghuni kosnya," tambah Lubis.

Lingkungan kos tampaknya yang membuat Soekarno menjadi bergairah dalam berprinsip dan berideologi. Ia juga dikenalkan oleh bapak kosnya tentang pemikiran-pemikiran dunia. Darinyalah Soekarno meminjam buku-buku pemikiran yang selalu ia lahap habis.

Dibawalah buku-buku pak Cokro kekamarnya. Di sebuah kamar yang redup, hanya diterangi pencahayaan lampu minyak, pemikiran Soekarno mengelana. 

Soekarno mengakui bahwa dengan membaca buku yang ditulis oleh para tokoh besar dunia telah menjadikan: "pemikiran mereka sebagai pikiranku." Meski baru berusia remaja, buku-buku itu telah melahirkan sosok "Soekarno" yang dicatat dalam sejarah.

 Baca Juga: Peran Sarekat Islam sebagai Mediator Perkecuan di Surakarta Abad ke-20

 Baca Juga: Tentara Rakyat Mataram dan Perang Revolusi Pasca Kemerdekaan

 Baca Juga: Sutan Muhammad Amin, Salah Satu Tokoh Sumpah Pemuda yang Berjasa

Ia telah menjadi negarawan berkat pengenalannya dengan tokoh-tokoh yang ia baca dari buku-buku yang ia pinjam. Lubis menambahkan, "Bung Karno seolah sedang berbicara dengan Thomas Jefferson."

Sokarno mengutarakan, "Aku berdiskusi mengenai persoalan yang timbul antara dia (Thomas Jefferson dengan George Washington. Aku menghayati kembali perjalanan Paul Revere. Aku dengan sengaja mencari kesalahan-kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln."

Soekarno muda dengan secangkir kopinya saat studi di Bandung. (Wikimedia Commons)

Hampir semua buku milik Tjokroaminoto telah ia "telanjangi." Begitupun, hampir semua tokoh besar dunia sudah ia jelajahi.

Buku-buku pemikiran karya Garibaldi dari Italia, Otto Bauer dan Adler dari Austria, Karl Marx, Frederich Engels, dan Lenin pun sudah ia kenali dengan baik. Adapun panutannya dalam berpidato, buku karya Aristide dan Jean Jaures telah digenggam dalam benaknya.

Soekarno juga mengidolakan pemikiran Voltaire dan tokoh besar dalam revolusi Prancis. Ia menyebut: "Aku benar-benar Voltaire. Aku menjadi pejuang besar dari revolusi Prancis, Danton. Seribu kali aku, seorang diri, menyelamatkan Prancis dalam kamarku yang gelap. Aku menjadi terlibat secara emosional dengan negarawan-negarawan ini."

Dalam imajinya, Soekarno benar-benar terlibat sebagai seorang negarawan lewat bukunya yang ia baca dari sudut kamarnya yang gelap. Hanya lampu minyak, jadi saksi perjalanan intelektualitas Soekarno yang dikenal kemudian membawa Indonesia ke tonggak kemerdekaan.