Kisah Adu Nasib Para Pekerja Migran Gelap Indonesia di Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 19 Juni 2022 | 10:00 WIB
Eko Susanto (bukan nama sebenarnya) seorang pekerja migran tak berdokumen berasal dari Indonesia yang pernah bekerja di Belanda. Akibat terlilit-hutang yang tak kunjung ia bayar, ia terpaksa meninggalkan keluarga demi menjadi pekerja tidak berdokumen. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Belanda pun dipilih banyak pekerja migran Indonesia karena memiliki selera dan sejarah yang sama. Yasmin mengatakan, walaupun pekerja migran sebenarnya dikirimkan ke negara Eropa lain, pekerja Indonesia memilih untuk datang ke Belanda.

"Kebalik ya, menjual Belanda," Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, memberi tanggapan. "Dulu ada namanya menjual Hindia agar orang-orang Belanda datang, sekarang menjual Belanda." Saat masa kolonial, pemerintah menyajikan keindahan Hindia Belanda yang menawarkan peluang bagi orang-orang Belanda tiba di Eropa. Keindahan itu dijajakan lewat karya seni berunsur Mooi Indie.

Salah satu kisah pekerja migran tak berdokumen itu adalah Eko (nama samaran). Awalnya dia adalah wirausaha yang kemudian terlilit hutang sejak harga solar naik tinggi, sehingga membuatnya harus mencari pemasukan sebagai pekerja migran.

Saat Eko meniti sebagai pekerja migran, para agen menawarkannya untuk bekerja ke Australia. Tetapi bukannya dikirim ke negeri tetangga Indonesia, justru ia diterbangkan ke Jepang. Di sana ia justru dideportasi ke tanah air.

Karena terdesak hutang, ia pun menuntut agen untuk segera memberikannya pekerjaan. Eko pun berangkat ke Eropa. Sesampainya, ia tidak memiliki jaringan untuk menghubungi siapa, hingga akhirnya bertemu dengan orang Indonesia yang bisa membantunya.

Eko bekerja sebagai tukang bangunan di salah satu rumah di Belanda; Para pekerja migran tak berdokumen biasanya berkerja pada sektor domestik yaitu hotel, restoran, dan kafe, serta pekerja bangunan. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

"Para pekerja gelap ini biasanya bekerja di sektor hotel, restoran, kafe, atau menjadi bersih-bersih di rumah, atau tukang," terang Azhar. "Bagaimana para pekerja buruh migran gelap ini mendapat kerja? Mereka menempelkan iklan, nomor telepon mereka di salah satu toko di Belanda, terkadang menitipkan nomor di rumah-rumah sekitar mereka."

Azhar mengikuti kesehariannya yang penuh dengan rasa waswas. "Saya sudah siap bekerja tanpa dokumen karena memang senjata terakhir," kata Eko kepada Azhar. Agar Eko tidak tertangkap karena pelanggaran kecil, Azhar bahkan berhati-hati untuk mengambil gambar kesehariannya.

Untuk tinggal, Eko harus menyewa rumah bersama teman-temannya dengan harga tinggi, sekitar 300 euro (Rp4.675.621). Sangat sedikit bagi tuan rumah yang mau menampung pekerja migran tak berdokumen.

   

Baca Juga: Kemenaker Targetkan 1,7 Juta Pekerja Terima Bantuan Subsidi Upah hingga Akhir Desember 2021

Baca Juga: Awal Mula Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927