"Lagu yang menjadi pelipur lara kala kondisi ekonomi rakyat berbalut kemelaratan," tulis Aris Setiawan dalam artikel yang dimuat Solopos berjudul Tragedi ’65 dan ”Mari Bersuka Ria” yang diterbitkan secara digital oleh ISI Surakarta pada tahun 2020.
Baca Juga: Gagasan Daulat Pangan Sukarno, Lagu Pengiringnya, dan Masa Depan
Baca Juga: Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie
Baca Juga: Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?
Lagu ini merupakan satu dari sekian lagu yang tergabung dalam album di bawah label Irama yang dikelola Jack Lesmana Bersama Bing Slamet. Soekarno merasa penting memberi teladan dengan menghadirkan satu varian musik yang mewakili citra dan adab ketimuran: irama lenso.
"Pada Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora Senayan Jakarta, 30 September 1965, Soekarno memulai pidatonya dengan menyanyikan Mari Bersuka Ria. Mari Bersuka Ria pada malam itu menjadi lagu terakhir yang dinyanyikan Soekarno dengan penuh suka cita," imbuhnya.
Setelah pidato dan lantunan lagunya di siang hari, terjadi tragedi besar bernama Gerakan 30 September 1965 di malam harinya. "Mari Bersuka Ria lantas mengalami kebangkrutan eksistensi dan sayup-sayup mati pasca peristiwa itu," tutupnya.