Mari Bersuka Ria: Lagu Fenomenal Ciptaan Soekarno Menjelang Gestapu

By Galih Pranata, Selasa, 14 Juni 2022 | 07:00 WIB
Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto. (Lutfi Fauziah)

Nationalgeographic.co.idBagaimanapun bangsa Indonesia perlu penguatan budaya. Dari segi musik misalnya, ketahanan budaya bangsa dapat dibangun dari sana. Soekarno telah mendedikasikan diri sepenuhnya.

Pengaruh westernisasi membawa gelombang musik Barat ke dalam industri musik nasional. Ketahanan budaya bangsanya tengah diuji.

Sang Presiden dengan tegasnya membendung pengaruh musik Barat yang mencoba masuk ke lapisan masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam jurnal Sorai karya Daniel Antonio Milán Cabrera berjudul Pengaruh Musik Amerika Latin Terhadap Indonesia yang terbit 2020.

Ia menyebut bahwa, "di Bandung dan kota-kota besar lain, banyak tempat ballroom dan sanggar-sanggar dansa Barat terpaksa tutup."

Soekarno menerbitkan larangan terhadap musik ala Barat, sebagaimana disampaikan dalam pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita pada tahun 1959: "…kenapa di kalangan engkau tidak banyak yang menentang imperialisme kebudayaan?"

"Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock and roll - rock and roll-an, dansi-dansian ala cha cha cha, musik musikan ala ngak ngik ngok gila-gilaan dan sebagiannya lagi […] Pemerintah akan melindungi kebudayaan nasional dan membantu berkembangnya kebudayaan nasional," lanjutnya. 

Soekarno tengah memikirkan cara untuk dapat membangun ketahanan budaya bangsa lewat musik yang tetap digemari para kawula muda. Pertemuannya dengan Ki Hajar Dewantara di tahun 1965 membuahkan hasil.

Potret Jack Lesmana, pengiring lagu Mari Bersuka Ria ciptaan Soekarno, bersama dengan anaknya, Indra Lesmana. (Indra Lesmana/Instagram)

Dari wejangan Ki Hajar Dewantara yang mengatakan perlunya diadakan pengganti musik yang digandrungi kawula muda, dari sana mulai diciptakan lagu Mari Bersuka Ria dengan irama Lenso.

Lagu itu merupakan hasil goresan tangan dari sang presiden pertama Republik Indonesia. Sebuah karya fenomenal yang jarang lahir dari tangan Soekarno itu melejit pertama kali pada 14 April 1965.

"Siapa bilang bapak dari Blitar, bapak kita dari Prambanan..Siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan.. ."

Dua bait syair dalam lagu Mari Bersuka Ria itu seolah menjadi alat bagi Soekarno untuk melanggengkan kedigdayaannya. 

"Lagu yang menjadi pelipur lara kala kondisi ekonomi rakyat berbalut kemelaratan," tulis Aris Setiawan dalam artikel yang dimuat Solopos berjudul Tragedi ’65 dan ”Mari Bersuka Ria” yang diterbitkan secara digital oleh ISI Surakarta pada tahun 2020.

   

Baca Juga: Gagasan Daulat Pangan Sukarno, Lagu Pengiringnya, dan Masa Depan

Baca Juga: Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie

Baca Juga: Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?

    

Lagu ini merupakan satu dari sekian lagu yang tergabung dalam album di bawah label Irama yang dikelola Jack Lesmana Bersama Bing Slamet. Soekarno merasa penting memberi teladan dengan menghadirkan satu varian musik yang mewakili citra dan adab ketimuran: irama lenso.

"Pada Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora Senayan Jakarta, 30 September 1965, Soekarno memulai pidatonya dengan menyanyikan Mari Bersuka Ria. Mari Bersuka Ria pada malam itu menjadi lagu terakhir yang dinyanyikan Soekarno dengan penuh suka cita," imbuhnya.

Setelah pidato dan lantunan lagunya di siang hari, terjadi tragedi besar bernama Gerakan 30 September 1965 di malam harinya. "Mari Bersuka Ria lantas mengalami kebangkrutan eksistensi dan sayup-sayup mati pasca peristiwa itu," tutupnya.