Repihan Pabrik Gula Buduran, Mozaik Revolusi di Tepian Jalan Raya Pos

By National Geographic Indonesia, Selasa, 14 Juni 2022 | 13:00 WIB
Meraba jejak Daidan III PETA Buduran, bekas pabrik gula di tepian Jalan Raya Pos. Pabrik Gula Buduran memiliki kisah ketika pemuda-pemuda Indonesia menempa pendidikan militer. (Rudi Julis)

Oleh Ady Setyawan—Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos

Nationalgeographic.co.id—Hari ke 12 Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos, kami bergerak meninggalkan kota Surabaya menyusuri jalan raya pos ke arah Pasuruan. Tiba di Buduran, Sidoarjo, sebuah gedung kuno nampak megah berdiri di sisi kanan jalan, tepat sebelum melintasi jalan layang. Sebuah tulisan terbaca dengan jelas : "Gudang Pusat Zeni TNI Angkatan Darat".

Setelah memutar di bawah jembatan layang, kami memasuki pelataran halaman gedung kuno. Mayor Tatok beserta jajarannya menyambut kami. Tak lama kemudian narasumber kami bernama Abdul Rosyid datang menyusul, ia seorang lulusan Sejarah Peradaban Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Gedung ini memiliki sejarah yang cukup panjang, baik sebagai pabrik gula, gerakan perlawanan petani hingga pecahnya revolusi di Surabaya yang cukup masyhur dalam historiografi perang kemerdekaan Indonesia.

Dalam catatan jurnal perjalanan William Barrington D'Almeida yang berjudul Life in Java with the Sketches of the Javanese, dia merekam pengalamannya sebagai berikut :

"Jalan dari Surabaya ke Pasuruan adalah jalan yang rata dan baik. Lebar jalan ini berkisar antara 9-10 meter dengan jalan-jalan yang lebih kecil di tiap sisinya untuk gerobak-gerobak dan pejalan kaki, jalan kecil tersebut dipisahkan oleh parit. Saat kami memasuki pedesaan lebih jauh, satu jalan digunakan untuk semua jenis kendaraan. Pohon asam, ara suci dan jati membentuk jalan teduh yang menyenangkan selama perjalanan.

Ladang tanaman tarum, padi, tebu, kebun pisang, manggis, rambutan dan pulasan terlihat di semua sisi. Gunung-gunung terlihat dari kejauhan, pemandangan mereka memenuhi sela-sela pohon. Ada tujuh pos di antara Surabaya dan Pasuruan. Tiap pos berjarak 10 mil satu sama lain. Pada umumnya kami memerlukan setengah jam perjalanan dari satu pos ke pos lainnya. Kuda-kuda kami berderap dalam kecepatan penuh di sepanjang jalan karena mereka diganti dengan yang masih segar di tiap stasiun pos. Kusir jarang meneriaki kuda atau orang-orang di jalanan seperti kusir Perancis atau kusir Spanyol yang berisik. Mereka melecutkan cambuknya di udara, tidak pada kuda yang malang. Lecutan yang keras dan berulang ini hanya dapat dihasilkan oleh kusir dari Jawa.

Tiba di stasiun pergantian kuda, teriakan mandi terdengar. Para pekerja pria berlari mendekat dengan tabung bambu panjang berisi air lalu dituangkan ke sumbu kereta dan jeruji roda yang panas. Pos atau stasiun ini umumnya merupakan gubug sederhana di sisi jalan dan disangga empat pilar."

Pada bab delapan catatannya, ia merinci pabrik gula Buduran dengan lebih detil :

"Kami berhenti di Buduran untuk melihat sebuah pabrik gula yang dioperasikan dengan mesin uap. Pabrik ini memiliki semua penemuan paling baru yang diketahui dan berguna dalam proses ini. Salah satunya adalah mesin sentrifugal yang digunakan untuk mengubah tetes tebu menjadi gula kering dalam beberapa menit. Selain itu ada penemuan-penemuan lain yang dapat menghemat waktu dan tenaga. Para pekerja yang dipekerjakan untuk merebus tetes tebu adalah para pria cina. Tetapi cabang-cabang mesin yang paling penting dikendalikan oleh orang-orang Jawa. Kuli-kuli yang dipekerjakan dalam pemotongan dan pengangkutan batang tebu  juga merupakan orang-orang pribumi."

 

Dari lantai dua bekas Markas PETA Buduran, melihat ke arah rumah dinas Mohamad Mangoendiprojo. Tampak Jalan Raya Pos membentang di depan kompleks militer. (Rudi Julis)

Abdul Rosyid mengeluarkan gawainya, menunjukkan kepada kami peta udara pabrik gula Buduran. Ia menunjuk dengan jarinya ke lokasi pos pergantian kuda berikut tiga rumah kuno yang berada di seberang gudang Zeni.