Dari jendela lantai dua yang besar dan kokoh saya melihat ke arah seberang jalan, hamparan petak rumah dan atap kafe tak mampu menutupi keberadaan tiga bangunan rumah yang cukup besar dengan atap genting yang berwarna kehitaman, tanda telah dimakan usia. Tak salah lagi disitulah rumah dinas R. Mohamad Mangundiprojo, sesuai dengan deskripsi buku biografi beliau yang ditulis drs Moehkardi, "R. Mohamad Dalam Revolusi 45 di Surabaya".
Wagiman, anggota Zipur yang usianya paling senior, bercerita kepada kami. Dia menegaskan bahwa dulunya kawasan markas memang membentang hingga rumah-rumah kuno di sisi timur jalan raya hingga ke Taman Mangundiprojo dibawah jembatan layang.
Pabrik Gula Buduran dan Sosok Mohamad Mangundiprojo
Sebagai upaya pertahanan memori kolektif, tiga ratus meter di sebelah selatan bekas pabrik gula Buduran didirikan sebuah taman bernama Taman Mangundiprojo. Di tengah taman kecil itu didirikan patung dada sang tokoh pejuang. Jalanan di depan bekas markas tersebut juga dinamakan Jalan R. Mohamad Mangundiprojo.
Saya tinggal di Surabaya. Di kota saya, namanya terekam sebagai salah satu ruas jalan utama. Nama ini tak bisa lepas dari pertempuran Surabaya. Ia bersama Mohammad Jasin dari Polisi Istimewa dan Bung Tomo terlibat dalam penyerahan senjata Jepang di Tangsi Don Bosco. Suatu peristiwa yang menandai sejumlah besar persenjataan Jepang jatuh ke tangan pemuda Surabaya. Beberapa sumber historiografi menuliskan bahwa tangsi Don Bosco adalah gudang senjata terbesar Jepang se Asia Tenggara. Bahkan Surabaya mengirimkan empat gerbong kereta api yang dipenuhi persenjataan ke Jakarta. Ini menjadi satu faktor mengapa pertempuran di Surabaya tercatat sebagai pertempuran dengan skala terbesar dalam masa perang kemerdekaan 1945-1949.
Peran lainnya adalah upaya pengambilan sejumlah uang di Bank Escompto, kini berubah menjadi Bank Mandiri di Jl Kembang Jepun, Surabaya. Mohamad yang saat itu menjabat sebagai bendahara BKR berdiskusi dengan Dr. Samsi bagaimana cara mendapatkan uang.
Samsi menginfokan perihal uang-uang Belanda yang disita Jepang di Bank Escompto, lalu segera disusun operasi penggedoran untuk mengambil uang tersebut. Dana yang didapatkan dari gedung Escompto sebesar Rp 100.000.000 dan digunakan sebagai dana perjuangan. Mohamad jugalah yang terlibat perundingan dengan Mallaby di hari terbunuhnya Brigadir malang tersebut di Gedung Internatio.
Masuknya Mohamad Mangundiprojo di dunia militer berawal dari bekas pabrik gula Buduran. Ketika Jepang menjajah Indonesia, mereka mendirikan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Kota Surabaya memiliki empat Daidan (Batalion) PETA. Daidan 1 Surabaya dipimpin oleh Daidancho (Komandan Batalion) Sutopo, Daidan 2 di Mojokerto dipimpin oleh Daidancho Katamhadi, Daidan 3 di Buduran, Sidoarjo dipimpin oleh Daidancho Mohamad dan Daidan 4 Gresik dipimpin oleh Daidancho Cholil.
Usia Mohammad ketika menjabat sebagai Daidancho saat itu adalah 38 tahun, ia tercatat sebagai komandan tertua di angkatannya.Tokoh-tokoh lain yang terlahir dari Daidan Buduran diantaranya : drg Moestopo, Darmosoegondo, Abdulwahab, Kadim Prawirodirdjo dan Sabarudin yang nantinya juga memiliki ketenaran di sisi gelap revolusi.