Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal BMJ Global Health memperkirakan bahwa 14,5% dari populasi dunia, di beberapa titik, telah terjangkit penyakit Lyme. Penyakit ini dapat menyebabkan gejala-gejala jangka pendek termasuk ruam kulit, demam, sakit kepala, dan kelelahan. Adapun gejala-gejala jangka panjang yang dapat muncul adalah kerusakan pada persendian, jantung, dan sistem saraf.
Lyme adalah penyakit tick-borne, penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri yang berasal dari kutu. Penyakit ini pertama kali ditemukan dan dinamai hampir 50 tahun yang lalu di Lyme, Connecticut, Amerika Serikat. Namun kini penyakit ini telah ditemukan di seluruh dunia.
Persebaran penyakit ini tampaknya semakin parah. Prevalensi Lyme meningkat dua kali lipat antara 2010 hingga 2021, dibandingkan antara 2001 hingga 2010.
Studi baru yang dipimpin oleh tim peneliti dari Institute for Tropical Medicine di Kunming Medical University di Tiongkok ini adalah meta-analisis dari 89 studi yang dilakukan sejak 1984 hingga 2021. Kumpulan data dalam makalah studi mencakup sampel darah dari hampir 160.000 orang yang diuji untuk Borrelia burgdorferi, bakteri berbentuk spiral yang menyebabkan penyakit Lyme.
Sampel darah diperiksa dengan salah satu dari berbagai metode. Beberapa metode yang dipakai termasuk tes ELISA yang menggunakan enzim untuk mendeteksi keberadaan antibodi dalam darah dan tes IFA yang menggunakan metode fluoresensi untuk mendeteksi antibodi yang sama.
Metode lainnya yang lebih dapat diandalkan daripada kedua teknik tersebut adalah metode Western blotting, yang mencari protein dalam darah sebagai penanda infeksi dengan bakteri atau virus target. Metode Western blotting dianggap mengurangi kejadian hasil positif palsu, tetapi memiliki kelemahan utama: metode ini kurang sensitif pada tahap awal infeksi Lyme dibandingkan ELISA atau IFA. Dari 89 studi yang dipilih, 58 di antaranya menggunakan metode Western blotting.
Dari berbagai studi ini, diketahui bahwa hampir 15% orang di seluruh dunia telah terinfeksi virus Lyme. Temuan ini sangat mengejutkan.
"[Penyakit Lyme] telah menjadi penyakit zoonosis tick-borne paling umum di seluruh dunia," tulis para peneliti dalam makalah studi tersebut sebagaimana dilansir TIME.
"Ada kebutuhan untuk tindakan pencegahan, yang memerlukan pemahaman tentang dinamika penularan penyakit yang ditularkan melalui kutu dan kurangnya strategi pencegahan penyakit yang efektif."
Mengapa tingkat persebaran Lyme meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir? Menurut para peneliti, perubahan iklim memainkan peran utama.
Suhu yang lebih tinggi dan musim semi dan musim panas yang lebih lama meningkatkan jangkauan kutu dan jumlah waktu yang dihabiskan orang-orang di luar. "Populasi kutu," tulis para peneliti, "telah berkembang secara global dan geografis dalam beberapa tahun terakhir, sehingga sangat meningkatkan risiko paparan manusia."
Geografi adalah kunci untuk menentukan siapa yang paling berisiko tertular penyakit Lyme. Insiden infeksi tertinggi ditemukan di Eropa tengah, dengan 21% dari populasi yang terkena. Asia timur berada di urutan kedua dengan 16%, diikuti oleh Eropa Barat dengan 13,5%.
Baca Juga: Kabar dari Jepang, Munculnya Virus Infeksi Baru yang Ditularkan Kutu
Baca Juga: Kenali Bahaya Penyakit Lyme
Baca Juga: Virus Misterius Menyebar di Tiongkok, Diduga dari Gigitan Kutu
Baca Juga: Varian Baru Virus Hendra yang Mematikan Ditemukan pada Kalong
Wilayah-wilayah dengan risiko yang lebih rendah adalah Oseania sebesar 5,5%, Asia selatan sebesar 3%, dan Karibia sebesar 2%. Sebagian dari alasan perbedaan besar risiko di wilayah-wilayah ini adalah tingkat keberadaan kutu yang mengandung Lyme yang berbeda di berbagai belahan dunia. Ada pula faktor-faktor lain yang turut berpengaruh.
Orang-orang yang berusia 50 tahun dan lebih tua berada pada risiko yang lebih tinggi daripada kelompok yang lebih muda. Dari orang-orang yang dites positif dalam penelitian ini, 18,1% berada dalam kelompok usia 50 tahun ke atas, lalu ada 17,6% pada kelompok 40 hingga 49 tahun, dan 9,5% pada kelompok usia 39 tahun ke bawah.
Para peneliti tidak berspekulasi tentang alasan penemuan tersebut. Namun sistem kekebalan yang lebih lemah dapat berperan, atau hanya fakta bahwa orang-orang yang lebih tua memiliki lebih banyak tahun untuk terpapar Lyme daripada orang-orang yang lebih muda.
Kategori menarik lainnya, orang-orang yang tinggal di pedesaan memiliki risiko lebih tinggi daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Angka persisnya, 12,6% yang dites positif berasal dari penduduk pedesaan dibandingkan dengan 8,1% dari penduduk perkotaan.
Para peneliti tidak membagi data mereka berdasarkan pekerjaan. Namun mereka berspekulasi bahwa orang-orang yang berprofesi sebagai petani, tentara, dan ibu rumah tangga yang mungkin memiliki paparan lebih besar ke luar ruangan dan hewan-hewan pembawa kutu, seperti anjing dan domba, adalah individu-individu yang berisiko tinggi terjangkit penyakit ini.