Kabar Paus Bungkuk: Risiko Laut Menghangat Akibat Perubahan Iklim

By Warsono, Minggu, 19 Juni 2022 | 14:00 WIB
Seekor paus bungkuk menikmati ikan yang berkumpul di perairan hangat Monterey Bay, California. (PAUL NICKLEN/NATIONAL GEOGRAPHIC CREATIVE)

 

Nationalgeographic.co.id—Setelah kepulihan besar dari penangkapan berlebih selama puluhan tahun, salah satu spesies paus paling ikonik mungkin dalam risiko karena perubahan iklim, ketika air menghangat dapat memaksa mereka pergi dari tempat pemijahan tradisionalnya di daerah tropis.

Menurut studi terbaru yang dipublikasikan di Frontiers in Marine Science, memproyeksikan suhu permukaan laut meningkat yang artinya bahwa area pemijahan paus bungkuk tidak lagi dalam cakupan suhu historis mereka di akhir abad. Kombinasi dengan menghangatnya tempat pemijahan, serta dampak dari aktivitas manusia, perubahan seperti itu mungkin terjadi, walau setelah beberapa tahun pemulihan, masa depan paus bungkuk jauh dari aman.

Mungkin paus besar yang paling familier, dengan sirip dada yang panjang dan kegemarannya melompat dari air–kebiasaan yang dikenal sebagai pelanggaran–paus bungkuk juga terkenal karena lagu mereka yang panjang, kompleks, dan menghantui. Karena mereka terutama berenang di pesisir, paus bungkuk adalah mangsa yang mudah dan paling awal bagi penangkap paus komersil, yang mulai menarget mereka pada abad 16 dan membunuh kira-kira 250.000 pada abad 20 sendiri, menurunkan populasinya hingga beberapa ribu. Bahkan saat beberapa populasi paus lainnya pelan-pelan mulai tumbuh atau tidak sama sekali, paus bungkuk telah betul-betul pulih di seluruh cakupan hidup mereka.

Contohnya, catat Philip Clapham, dahulu di Northwest Fisheries Science Center dan kini Ilmuwan Senior di SeaStarScientific, populasi yang bermigrasi dari Antarktika sepanjang pesisir timur dan barat Australia “mungkin telah berkurang hingga beberapa ratus hewan pada waktu Rusia, di tempat yang dahulu Uni Soviet, menghentikan penjarahan ilegal pada 1960-an. Namun kini, jumlah mereka “puluhan ribu, dan terus bertambah besar.” Dia menambahkan “bahkan di South Georgia (pulau)–tempat penangkapan paus di Antarktika dimulai pada 1904 dan paus bungkuk yang cukup banyak dimusnahkan pada 1915–telah terlihat kembali dalam jumlah yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir setelah puluhan tahun tidak terlihat.”

Paus bungkuk mempertahankan daerah mereka

Pada musim panas, paus bungkuk mencari makan di perairan dingin di lintang tinggi, seperti Alaska, Antarktika, Islandia, Norwegia, dan pesisir timur Kanada dan Amerika Serikat, bermigrasi setiap tahun ke perairan hangat untuk berkembang biak. Sebenarnya mengapa mereka bermigrasi belum jelas, meski secara teori berkisar dari menghindari predator pembunuh paus–yang terjadi dalam kelimpahan yang jauh lebih besar di tempat mencari makan di perairan dingin–hingga meremajakan kulit mereka.

Teori lain adalah bahwa perairan tropis memungkinkan bayi yang baru lahir untuk menyalurkan energi mereka ke sesuatu selain agar tetap hangat. “Itu bukan seolah-olah bayi akan mati jika dilahirkan di perairan dingin, tetapi di perairan hangat ia dapat menyalurkan lebih banyak energi untuk pertumbuhan,” jelas Chapman. Bahwa perairan hangat itu sendiri adalah faktor utama yang ditunjukkan oleh fakta bahwa suhu permukaan laut di setiap daerah pemijahan paus bungkuk di seluruh dunia antara kira-kira 21 dan 28 derajat Celsius. 

"Kehadiran paus bungkuk di lokasi pemijahan ini telah menyebabkan industri menyaksikan paus global sangat besar. Di Hawaii, sekitar 10.000 paus bungkuk bepergian setiap tahun dari area mencari makan mereka di lepas pantai Alaska, industri ini menambah lebih dari 11 juta dolar setiap tahun ke ekonomi negara bagian," tulis Kieran Mulvaney di laman National Geographic dalam artikel berjudul "Humpback whales face a major setback from climate change".

Bagaimanapun, menurut sebuah studi baru, semua ini–pulihnya paus bungkuk, migrasi ke lokasi pemijahan mereka, industri menyaksikan paus–mungkin dalam risiko karena perubahan iklim. Dalam studi, Hannah von Hemmerstein dan Renee Setter, mahasiswa PhD di Universtiy  of Hawai’i di Depertemen of Geography and Environment Manoa, bekerja bersama ahli paus dari universitas dan Pacific Whale Foundation untuk proyek peningkatan suhu permukaan laut terhadap lokasi pemijahan paus bungkuk.

Hasilnya mengejutkan para peneliti.

Seekor paus bungkuk menunjukkan ekornya sebelum menyelam di Selat Gerlache, Antartika. (PAUL NICKLEN/NATIONAL GEOGRAPHIC CREATIVE)

“Kami berharap untuk melihat beberapa lokasi pemijahan yang terdampak,” ujar von Hammerstein “tetapi ketika kita melihat proyeksi kami dan melihat lokasi pemijahan demi lokasi pemijahan menjadi merah, itu cukup membuat ternganga.”

Dampak yang tak diketahui

Dengan sedikit yang diketahui secara pasti tentang mengapa paus bungkuk memilih lokasi pemijahan tertentu pada awalnya, sulit untuk memastikan dampak pasti dari perkembangan itu. Sementara itu secara teoretis mungkin mudah bagi paus memilih tempat baru untuk berkembang biak dan membesarkan anak, penulis bersama studi Stephanie Stack berpendapat sebenarnya tidak semudah itu. 

“Kita tidak tahu ke mana mereka pergi jika habitat ini tidak tersedia bagi mereka,” jelas Stack, kepala biolog untuk Pacific Whale Foundation. “Habitat di seluruh dunia menjadi terdegradasi, jadi kita tidak tahu sama sekali bagaimana mereka akan bereaksi.” Terlebih lagi, catatnya, di beberapa lokasi–terutama Hawaii, di mana daratan terdekat adalah California, yang lebih dari 2.000 mil jauhnya, dan Jepang, hampir 4.000 mil jaraknya–tidak ada area terdekat untuk mereka dapat beralih dengan jelas dan mudah.

Penting untuk dicatat bahwa setiap perubahan pada lokasi pemijahan tidak akan terjadi dalam isolasi. Paus bungkuk, tidak seperti paus lain, menghadapi ancaman yang bertambah dari ditabrak kapal, penangkapan ikan, kebisingan di bawah air, dan aktivitas manusia lainnya. Jika suhu meningkat di area pemijahan mereka, itu akan juga terjadi di area mencari makan mereka, demikian juga, dengan potensi dampak yang lebih parah. 

“Meski ambang suhu tidak akan melebihi suhu yang mereka sukai di lokasi mencari makan mereka, kami telah melihat perubahan di sana karena menghangatnya lautan,” ujar Stack. Alaska Tenggara, sebagai contoh, telah mengalami serangkaian kejadian air yang menghangat dalam beberapa tahun terakhir; salah satunya, kolam air hangat yang dikenal sebagai “Blob,” memanjang ke selatan hingga Meksiko dan menjungkirbalikan rantai makanan di lautan, menghentikan penangkapan ikan, menghancurkan jumlah salmon, dan menyebabkan mamalia laut mati, sekarat, dan kelaparan.

    

Baca Juga: Terekam Kamera, Kawanan Hiu Putih Besar Mencabik-cabik Paus Bungkuk

Baca Juga: Ini Alasan Paus Bungkuk Mencaplok Manusia tapi Tak Bisa Menelannya

Baca Juga: Bagai Kisah Nabi Yunus, Pria AS Sempat di Dalam Mulut Paus Bungkuk

Baca Juga: Perbedaan Kultur di Dalam Nyanyian Paus Bungkuk Antar Samudra

     

“Penampakan paus bungkuk di Hawaii dan Alaska tenggara menurun untuk beberapa tahun setelahnya, dan sampai hari ini tidak pernah pulih ke jumlah sebelumnya,” ucap Stack. “Kami tidak tahu apakah paus mati sebagai hasil dari itu atau apakah mereka mulai pergi ke area yang berbeda di tempat kita tidak mencari mereka, atau mungkin kombinasi dari semua itu.”

Prospek perubahan seperti itu meningkat dalam frekuensi dan intensitas dan menyebar untuk memengaruhi tempat pemijahan, von Hammerstein mengakui, adalah hal yang menakutkan. “Namun saya tidak murni melihat itu sebagai sesuatu yang negatif karena hasilnya juga memperlihatkan bahwa dengan menerapkan langkah-langkah mitigasi dan mengurangi emisi, begitu banyak yang bisa dimenangkan,” katanya.

Untuk tujuan ini, penulis studi merekomendasikan peningkatan perlindungan untuk tempat pemijahan paus bungkuk, untuk memberikan ketahanan ekstra dalam menghadapi ancaman iklim, dan untuk mengaktifkan studi lebih lanjut tentang bagaimana dan mengapa paus menggunakan area itu.

“Paus bungkuk telah dirayakan sebagai kisah sukses konservasi, dan memang seharusnya begitu,” kata Stack. “Saya pikir itu adalah tanggung jawab kita saat ini untuk menjaga tren itu dan melakukan apa pun yang dapat mengurangi penyebab stres tambahan yang terjadi di lautan. Pekerjaan kita belum selesai.”