Nationalgeographic.co.id - Untuk mengabadikan sosok, seni lukis potret bisa menyimpan makna di balik torehan kuas pelukis. Makna itu bisa berasal dari idealisme pelukisnya ketika melihat sosok seseorang atau orang yang ingin dilukiskan menyampaikan keinginannya ke pelukis.
Selain torehan kuas dan pola yang membentuk pelengkap objek, cara membingkai juga memberikan makna dalam seni lukis. Ada yang hanya mukanya saja. Biasanya bingkai yang hanya berisi muka hendak menunjukkan ekspresi, tidak memedulikan bentuk tubuh.
Kemudian ada seni potret setengah badan. Fungsinya untuk orang-orang yang dihormati. Kebanyakan seni lukis barat, jarang menampilkan model menghadap depan tetapi condong miring.
"Ini digunakan untuk kesan anggun, terpelajar, relijius, tergantung aksesoris yang dipakai, warna yang digunakan, pose rambut, sehingga dalam komposisi teknis, seni lukis potret rekayasanya sangat kompleks," kata Mikke Susanto.
Dia adalah ketua Program Studi S-1 Tata Kelola Seni, Fakultas Seni Rupa, Insitut Seni Indonesia Yogyakarta. Pemaparan itu disampaikan dalam seminar nasional Melukis Tokoh: Kajian Visual dan Kontekstual yang diadakan Museum Basoeki Abdullah, Rabu 22 Juni 2022.
Selain setengah badan ada pula seluruh badan yang menciptakan kesan dan citra pada obyek yang biasanya punya kekuasaan. Dan terakhir adalah seni potret dengan instrumen pendukung. Biasanya seni potret dengan instrumen pendukung memunculkan narasi baru dan terkadang tidak dianggap seni lukis potret karena cakupan dan obyek di dalamnya.
Seni potret gaya barat ini dipelajari oleh Basoeki Abdullah, seorang seniman maestro dari zaman pergerakan hingga Orde Baru. Dia telah melukis beberapa di antaranya, terutama di masa pergerakan ia mengenal dan cukup dekat dengan beberapa tokoh seperti Sukarno.
"Basoeki Abdullah juga menerima pesanan dari masyarakat umum, bahkan dia menggambar sendiri orang-orang yang ia ingin gambar tanpa pesanan," ujar Mikke.
Dia pernah menggambar sketsa potret dengan instrumen pendukung pada 1943. Saat itu Sukarno sedang memimpin sidang Chuo Sangi-In, sejenis badan pertimbangan pusat pada saat pendudukan Jepang di wilayah Indonesia. Dalam sidang itu, Basoeki melukis Sukarno memimpin sidang dengan suasana khidmat.
"Instrumen pendukungnya ada meja, podium interior, suasana ruang sidang, dan aktivitas orang sedang mengetik dan berbicara, dan...memperhatikan sidang," papar Mikke. "Menandakan bahwa sketsa ini, bahwa Sukarno, seorang tokoh, seorang ideolog, bekerja sedang melakukan proses negosiasi lewat sidang tersibut."
Baca Juga: Abdullah Suriosubroto, Pelopor Lukisan Mooi Indie di Hindia Belanda
Baca Juga: Menyaksikan Sejarah Alam Gunung Merapi dari Pelukis ke Pelukis
Baca Juga: Lukisan Wandjina, Visualisasi Kepercayaan Orang Aborigin Australia
Baca Juga: Basoeki Abdullah: Menyirat Nilai Budaya dan Kemanusiaan dalam Lukisan
Ada pula lukisan bagaimana Basoeki Abdullah menggambarkan Sukarno sebagai sosok yang memprovokasi publik. Lukisan itu dibuat tiga per empat badan dengan suasana ramai, dominasi warna merah dan coklat gelap. Mikke memandang, karya ini punya kesan garang.
Bagi Mikke, yang unik adalah lukisan karya Basoeki Abdullah tentang Sukarno yang mengepalkan tangan. Dia menjelaskan bahwa pada masa kependudukan Jepang, kepalan tangan kanan itu tidak ada. Tangan kanannya turun sepinggang dengan suasana sekitar yang riuh.
Basoeki Abdullah kemudian menggantinya dengan tangan yang mengepal seperti meninju. Hingga akhirnya di tahun 1980-an, tinju itu diganti dengan kepalan tangan kuat ke udara. Jejak perubahan itu masih terlihat pada lukisan, berupa sisa hapusan oleh sang pelukis.
Baju sebagai pelengkap yang dipakai Sukarno ketika dilukis, menandakan masa di mana ia dicitrakan. "Jadi kalau teman-teman punya foto Sukarno itu lihat aja pakaiannya. Itu bisa ditandai kok. Setiap satu dekade itu pasti berubah," kata Mikke.