Dokter Bizantium Alexander dari Tralles, pada 535 Masehi, juga mencatat tentang manfaat darah pendekar pedang.
Dalam ‘Buku Medis’, Alexander menulis, “Ambil kain berdarah dari pendekar pedang yang terbunuh atau orang yang dieksekusi. Lalu bakar, campur abunya menjadi anggur, dan dengan tujuh dosis Anda akan membebaskan pasien epilepsi. Terapkan secara teratur untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.”
Mengapa darah gladiator?
Orang Romawi meyakini gladiator yang mati adalah persembahan kepada para dewa dan mengantar orang mati ke dunia berikutnya. Untuk tujuan ini, pertarungan diatur agar terjadi kematian salah satu petarung.
"Pengobatan ini berasal dari ide nyeleneh bahwa laki-laki muda yang sehat memiliki energi. Jika Anda bisa memanfaatkan energi itu tepat pada saat kematian, Anda bisa menelan sebagian dari kesehatan mereka," jelas Lydia Kang, MD, dari University of Nebraska Medical Center. "Dengan kata lain: kamu adalah apa yang kamu makan."
Praktek serupa ditemukan di Tiongkok kuno, India, Mesopotamia, dan Thrakia. Beberapa peradaban kuno memanfaatkan darah korban sebagai zat suci, penyembuh, dan melawan pengaruh jahat.
Hati juga memainkan peran sentral dalam ritual pengorbanan Etruria dan prognosis medis. Ini kemudian diikuti oleh dokter-dokter Romawi.
Meski darah dipercaya bisa menyembuhkan, perawatan ini dianggap mengerikan dan brutal. Hanya sedikit yang menulis soal kengerian ini. "Darah gladiator diminum oleh penderita epilepsi seolah-olah itu adalah rancangan kehidupan," tulis Plinius yang Tua.