Dari dua sumber diatas, dapat dirangkum lebih kurang sebagai berikut: Sistem pertahanan dan perlindungan udara dijalankan dalam garis besarnya oleh dua unsur. Untuk unsur militer dise-but Luchtverdediging atau Djaga Djomantara, sedangkan unsur sipil disebut Luchtbescher-mingdienst atau Raksa Djomantara, umum dikenal dengan sebutan singkatnya; LBD, yang didirikan pada 1939.
LBD ini terdiri dari enam unsur sipil : Politie Dienst (Dinas Kepolisian), Brandweer (Dinas Pemadam Kebakaran) , Ontsmettingsploeg (Penanganan Racun), Reddingsdiens (Palang Merah), Ontruimingsdienst (Penanganan Kerusakan) dan Transportploeg (Transportasi/ pengangkutan).
Sistem peringatan serangan udara di zaman Belanda diatur dengan sirine yang dipadukan dengan kentongan dan tabuhan bedug. Kentongan dan bedug dibunyikan dua kali berurutan dan terus menerus. Dengan adanya isyarat ini, warga diharuskan segera memasuki bunker perlindungan atau biasa disebut Schuilplaats dalam bahasa Belanda.
Bunker perlindungan milik pemerintah atau perusahaan besar tentunya terbuat dari beton dengan spesifikasi tertentu. Misalnya, bunker Balaikota, bunker rumah dinas Walikota, Tegalsari, dan puluhan bunker yang tersebar di kawasan Ujung.
Berbeda halnya dengan tempat-tempat perlindungan milik warga biasa yang dibuat dengan cara lebih sederhana, menggali tanah kemudian diperkuat dengan rangka kayu jati sebagai penyangga. Ketentuan detil tentang pembuatan perlindungan ini dapat dibaca juga dalam buku kecil yang dikeluarkan LBD dengan judul Richtlijnen voor het bouwen en inrichten van schuilplaatsen tegen luchtgevaar atau Panduan untuk membuat perlindungan antiserangan udara.
Lokasi perlindungan bahaya udara ini harus tersebar dan dapat dijangkau maksimal tiga menit sejak sirine dibunyikan. Diatasnya ditempatkan timbunan tanah guna menyerap efek ledakan, volume timbunan tanah disesuaikan dengan besarnya ruang perlindungan dengan ketentuan 3m kubik tanah untuk ruangan kapasitas satu orang.
Di kota Surabaya, semakin mendekati perang maka intensitas latihan atau simulasi serangan udara makin ditingkatkan. Hal ini membuat warga merasa resah dan permintaan pembangunan bunker-bunker mulai meningkat sehingga dimanfaatkan oleh para kontraktor yang berusaha memanfaatkan situasi darurat. Surat kabar De Sumatra Post tertanggal 26 Januari 1942 memuat berita tersebut. Untuk bunker berukuran 3m x 1,8m x 1m , harga standar dari dinas pekerjaan umum pemerintah kota Surabaya adalah sebesar 100 gulden, namun kontraktor yang curang menaikkannya hingga 150 gulden.
Untuk Luchtverdediging atau sistem pertahanan militer, mereka membangun sistem pertahanan anti udara yang bentuknya cukup unik, disebut dengan nama suikerbrood atau dalam bahasa Indonesianya roti manis. Bentuknya memang menyerupai ujung dari roti. Bangunan ini mulai dikerjakan sejak akhir 1939 di kawasan Pangkalan Angkatan Laut, kini Koarmada II dan di kawasan Lapangan terbang Morokrembangan, kini Kodikal.
Bagaimana dengan pembangunan perlindungan bahaya udara di zaman Jepang? Lebih kurangnya sama saja. Suparto Barata, mantan pegawai Pemkot Surabaya yang mengingat pengalaman masa kecilnya di zaman Jepang, mencatat memoar berjudul Surabaya No Monogatari atau Kisah Kota Surabaya.