Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos Selidiki Bangunan Perlindungan Kota

By National Geographic Indonesia, Kamis, 30 Juni 2022 | 08:00 WIB
Tim Ekspedisi Jelajah Tiga Zaman saat menyusuri Kalimas, menuju bekas bekas Benteng Prins Hendrik. (Ali Muchson/Roodebrug Soerabaia)

Ia menuliskan bahwa situasi serangan dibagi menjadi dua yaitu Keikaikeiho yang berarti persiapan bahwa pesawat musuh akan segera datang. Tandanya berupa sirine yang memanjang tanpa jeda, karena moncong mengeras suara diputar 360 derajat ke segala penjuru maka yang terdengar adalah suara sirine yang seakan-akan nadanya naik turun.

Situasi lainnya disebut Kutsyukeiho, yang berarti pesawat musuh sudah berada diatas kota Surabaya. Tandanya berupa sirine yang dinyalakan lima detik kemudian dimatikan selama lima detik pula, terus berulang-ulang. Semua wajib segera menuju bangunan perlindungan terdekat, binatang diikatkan di bawah pohon besar. Perlindungan paling sederhana berbentuk sumuran untuk sembunyi satu orang saja.

Bunker sederhana yang dibuat warga kampung cukup banyak jumlahnya. Suparto mencatat setiap gang kampung berjarak 10 meter terdapat bunker perlindungan sederhana. Ini memungkinkan tercapainya aturan warga bisa mencapai bangunan perlindungan dalam waktu tiga menit seperti yang dituliskan sebelumnya.

Tercampurnya memori kolektif antara bangunan perlindungan dengan terowongan yang ter-hubung satu sama lain menurut asumsi saya terjadi sejak datangnya perang Pasifik di kota Surabaya. Perintah dari Belanda yang disusul Jepang untuk membuat perlindungan bagi warga tentu membuat warga memanfaatkan apapun yang bisa ditemui.

Dalam situasi serba sulit dan miskin, tidak semudah itu membuat tempat perlindungan dari kayu jati apalagi berbahan beton. Adanya sisa-sisa terowongan yang tersebar sesuai deskripsi dari William Barrington tentu dimanfaatkan pula oleh penduduk Surabaya. Tidak perlu menggali ulang, cukup tambahkan saja penutup sederhana dan mereka bisa saja sembunyi di bekas-bekas terowongan tersebut.

Bunker Tegalsari yang kini sudah nampak cantik, sayang narasi sejarahnya kurang tepat. (Ali Muchson/Roodebrug Soerabaia)

Salah satunya adalah terowongan di Jalan Krembangan Besar yang masih bisa saya temui pada 2010. Sebuah terowongan sempit yang diberi tambahan penutup beton. Lokasinya tepat berada di sisi dalam dinding pertahanan kota pada peta 1866 karya TWA Roessner di atas, di samping kruidmagazijn atau gudang mesiu. Kini, bekas terowongan itu sudah hancur diratakan.

Ada lagi bangunan bawah tanah yang bukan akses terowongan maupun bunker perlindungan, yaitu penjara bawah tanah. Hanya ada satu penjara bawah tanah di kota Surabaya yaitu di Polrestabes Surabaya. Gedung ini adalah salah satu gedung tertua era Daendels yang masih bertahan selain Gedung Grahadi, dulunya disebut Tangsi Djotangan, sebuah barak militer sebe-lum kemudian beralih ke tangan Kepolisian.

Penjara ini tercatat pernah dihuni oleh Komandan Angkatan Udara Sekutu bernama Walter Kerry bersama beberapa perwira Inggris dan pasukan India lainnya. Mereka ditawan dalam per-tempuran Surabaya fase pertama antara 28-30 Oktober 1945. Namun, mereka kemudian dibebaskan sebagai bagian dari gencatan senjata.

Kisah ini terekam dalam surat kabar Newcastle Morning Herald tertanggal 5 Oktober 1945. Pada masa pendudukan Belanda, penjara bawah tanah ini juga digunakan untuk mengurung para pejuang Indonesia yang tertangkap, kesaksian-kesaksian mereka tersimpan dalam lembaran arsip yang kini berada di DHD 45 Surabaya. Penjara ini jelas tidak terhubung dengan bunker Gedung PTPN atau Gedung HVA, saya pernah tiga kali memasuki bunker HVA dan meyakini tak ada jalur atau akses terowongan menuju Polrestabes.

    

Baca Juga: Repihan Pabrik Gula Buduran, Mozaik Revolusi di Tepian Jalan Raya Pos