Alexandria, Ibu Kota Kosmopolitan Pertama di Persimpangan Dunia

By Sysilia Tanhati, Minggu, 3 Juli 2022 | 10:00 WIB
Alexandria, kota kosmopolitan pertama di persimpangan dunia ini sempat tidak tertandingi di dunia kuno. Kota ini jadi pusat budaya dan ekonomi Mediterania kuno. (Johann Bernhard Fischer von Erlach)

Alexandria adalah kota multikultural, tetapi populasi Helenistiknya memegang posisi dominan. Bagaimanapun, dinasti Ptolemaik yang berkuasa adalah orang Yunani. “Mereka menjaga kemurnian garis keturunan melalui perkawinan silang dalam keluarga,” tutur Bileta.

Penduduk asli yang cukup besar tinggal di distrik Mesir—Rhakotis. Sayangnya, mereka tidak dianggap sebagai ‘warga negara’ dan tidak memiliki hak yang sama dengan orang Yunani. Komunitas penting terakhir adalah diaspora Yahudi, yang terbesar di dunia. Para sarjana Ibrani dari Alexandria-lah yang menyelesaikan terjemahan Yunani dari Alkitab, Septuaginta, pada 132 Sebelum Masehi.

Meredupnya kota kosmopolitan

Sifat kosmopolitan Alexandria bak pedang bermata dua. Di satu sisi, itu menjamin kesuksesan kota. Di sisi lain, ada potensi kerusuhan dan kekerasan. Di dalam kota itu sendiri, pembelajaran Helenistik ditentang oleh teologi Kristen yang berkembang pesat.

Larangan Kaisar Theodosius I pada ritual pagan memicu kekerasan publik, seperti halnya penutupan kuil. Namun sebenarnya, bentrokan komunitas yang berbeda pada dasarnya adalah perjuangan politik, pertempuran untuk menguasai kota. Jadi bukan semata-mata karena masalah agama.

Selama konflik ini, Serapeum (kuil Serapis) dihancurkan, ini memberikan pukulan mematikan bagi sisa-sisa terakhir Perpustakaan Alexandria yang sempat masyhur. Saat perpustakaan dihancurkan, sebagian koleksinya disimpan di dalam Serapeum.

Korban lain dari kekosongan kekuasaan adalah filsuf Hypatia, yang dibunuh oleh massa Kristen pada tahun 415. Kematiannya secara simbolis menandai dominasi Kristen atas Alexandria.

Metropolis yang tangguh

Kekosongan politik dan kekerasan antar-agama berperan dalam kemunduran kota. Namun ada elemen yang tidak dapat dikendalikan. Sepanjang sejarahnya, Alexandria menderita beberapa gempa bumi. Namun tsunami tahun 365 Masehi dan gempa yang menyertainya menyebabkan kerusakan parah. Alexandria tidak akan pernah pulih seperti sedia kala.

Tsunami, yang dicatat oleh sejarawan kontemporer, Ammianus Marcellinus, menyebabkan banjir di seluruh distrik kerajaan dan pelabuhan Alexandria. Lebih buruk lagi, genangan air asin membuat lahan pertanian di sekitarnya tidak berfungsi selama tahun-tahun berikutnya.

Situasi yang meresahkan di dalam kota diperparah oleh keterasingan dari pedalaman Alexandria. Selama abad kelima dan keenam, Alexandria kehilangan sebagian besar perdagangannya ke kota-kota di lembah Nil. Kekaisaran Romawi juga melemah, kehilangan kendali atas Mediterania. Setelah runtuhnya perbatasan timur pada awal abad ketujuh, Alexandria sempat berada di bawah kekuasaan Persia.

Bangsa Romawi mampu menegaskan kembali kendali mereka di bawah Kaisar Heraclius. Namun kemudian kota itu jatuh ke tangan tentara Islam pada tahun 641. Armada kekaisaran merebut kembali kota itu pada tahun 645, tetapi setahun kemudian orang-orang Arab kembali. Ini mengakhiri hampir satu milenium masa Yunani-Romawi di Alexandria.

Kini sebagai salah satu pusat utama di Mediterania Timur, Alexandria terus mempertahankan perannya sebagai kota terpenting kedua di Mesir. (David Evers)

Pada abad-abad berikutnya, Alexandria seakan terus ‘tenggelam’ pamornya. Kehadiran Fustat (sekarang Kairo) mengesampingkan kota yang dulu mulia ini. Pendudukan singkat Tentara Perang Salib di abad ke-14 sempat memulihkan sebagian kekayaan Alexandria. Namun gempa bumi menghancurkan Mercusuar yang terkenal dan semakin meredupkan Alexandria. Setelah ekspedisi Napoleon tahun 1798-1801, kota ini mulai mendapatkan kembali ketenarannya.

Abad ke-19 adalah periode kebangkitannya, dengan Alexandria menjadi salah satu pusat utama di Mediterania Timur. Kini, Alexandria terus mempertahankan perannya sebagai kota terpenting kedua di Mesir.