Bagai Pedang Bermata Dua, Kekuatan Sparta Jadi Penyebab Kejatuhannya

By Sysilia Tanhati, Senin, 4 Juli 2022 | 07:00 WIB
Dalam sejarah kuno, Sparta sering dianggap sebagai salah satu kota paling tangguh dan berkuasa. Namun bagai pedang bermata dua, kekuatan ini jadi penyebab kejatuhannya. (François Topino-Lebrun)

Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah kuno, Sparta sering dianggap sebagai salah satu kota paling tangguh dan berkuasa. Prestasi mereka dalam bertempur menjadi legenda hingga zaman modern. Selain kuat, kota ini memiliki warga yang setia. Ini berkat kode etik dan tradisi yang dipegang teguh oleh segenap warga Sparta. Namun bagai pedang bermata dua, kekuatan Sparta jadi penyebab kejatuhannya.

Fokus Sparta sejak awal berdiri

Bukti sejarah menunjukkan Sparta didirikan sekitar 1000 Sebelum Masehi oleh suku nomaden asal Dorian.

Sejak awal berdiri, kota ini meningkatkan kekuatan dan meletakkan prinsip dasar pemerintahan serta agenda politiknya.

Dengan fokus yang signifikan pada peperangan dan kesetiaan, Spartan menciptakan serangkaian tradisi. Tradisi ini menjaga nilai-nilai penting Sparta, yang juga dilakukan oleh warganya sejak kecil. Dewan kota akan memeriksa bayi yang baru lahir untuk menentukan apakah mereka sehat secara fisik. “Yang sehat dapat bergabung dengan masyarakat Sparta, sedangkan bayi yang cacat dibiarkan mati,” ungkap Evan Andrews dilansir dari laman History.

Menurut tradisi, bayi Sparta yang terlahir cacat akan disingkirkan karena dianggap tidak layak untuk dilatih. (Giuseppe Diotti)

Sejarawan kuno Plutarch mengeklaim bahwa bayi Sparta yang terlahir sakit dilemparkan ke jurang di kaki Gunung Taygetus. Namun sebagian besar sejarawan sekarang menganggap ini sebagai mitos. Jika bayi Sparta dinilai tidak layak untuk tugas masa depan sebagai tentara, kemungkinan besar ditinggalkan di lereng bukit terdekat. Dibiarkan sendirian, anak itu akan mati atau diselamatkan dan diadopsi oleh orang asing.

Sejak usia muda, laki-laki menjalani resimen pelatihan pertempuran ekstensif di mana mereka ditempa dalam segala bentuk pertempuran. Pelatihan ini disebut agoge dan karena kebrutalannya sangat sedikit pria yang lulus dalam pelatihan ini. Mereka yang berhasil akan menjadi tentara Sparta mematikan yang kita kenal sekarang.

Bagaimana dengan para wanita? Wanita Sparta mendapatkan pendidikan diplomasi dan politik untuk mengelola urusan negara ketika para pria berperang. Wanita Spartan diberikan lebih banyak hak daripada di tempat lain pada periode ini.

Persaingan Athena dan Sparta

Pada 480 Sebelum Masehi, Kaisar Xerxes dari Kekaisaran Persia menggiring pasukannya ke Yunani. Dengan kekuatan angkatan laut dan darat yang besar, ia berusaha menaklukkan seluruh Yunani. Raja Leonidas dan 300 Sparta pemberaninya melawan pasukan darat Xerxes di Thermopylae. Mereka bersekutu dengan negara-kota Yunani, termasuk Athena. Dengan ini, Sparta mampu mengusir pasukan angkatan laut Persia.

Setelah kemenangan dalam Perang Persia, Athena dan Sparta menjadi dua kota paling berpengaruh di Yunani. Masing-masing terus berusaha memperluas kekuatan militer dan politik mereka. Konflik kepentingan antara keduanya menyebabkan serangkaian pertempuran yang dikenal sebagai Perang Peloponnesia.