Bagai Pedang Bermata Dua, Kekuatan Sparta Jadi Penyebab Kejatuhannya

By Sysilia Tanhati, Senin, 4 Juli 2022 | 07:00 WIB
Dalam sejarah kuno, Sparta sering dianggap sebagai salah satu kota paling tangguh dan berkuasa. Namun bagai pedang bermata dua, kekuatan ini jadi penyebab kejatuhannya. (François Topino-Lebrun)

Dengan pengaruhnya yang berkembang dan krisis populasi yang parah, Sparta harus menggunakan tenaga kerja budak untuk tentara dan logistiknya. Budak-budak ini, yang disebut helot, tidak memiliki tingkat loyalitas yang sama kepada Sparta seperti yang dilakukan warganya.

“Sparta memiliki hierarki sosial yang berbeda dari yang lain,” tutur Wu Mingren di laman Ancient Origins. Bagian atas piramida sosial ditempati oleh dua raja, yang kekuasaannya diperiksa oleh 'dewan tetua'. Para tetua ini dipilih dari kelas berikutnya, spartiates. Di bawah kelas bangsawan ini ada kelas menengah yang disebut perioeci. Mingren menambahkan, “Kelas terendah, yang juga terbesar, dalam masyarakat Sparta dikenal sebagai helot.”

Tradisi lama Sparta berarti tidak ada cara untuk melatih tentara baru dengan cepat. Penghalang tinggi untuk masuk ke masyarakat Sparta membuat warganya perlahan menjadi minoritas di wilayah mereka.

Jumlah yang semakin berkurang dan penguasa yang tidak kompeten menimbulkan ketidakpuasan dan kegelisahan di kalangan rakyat jelata. Pemberontakan pun bermunculan dan Sparta tidak mampu untuk menekan pemberontakan.

Kejatuhan Sparta

Salah satu negara kota di bawah kendali Sparta adalah Thebes. Negara kota ini tumbuh menjadi lebih kuat setelah perang Peloponnesia. Orang Thebes bertekad untuk mengusir pasukan Sparta dari tanah air mereka. Sparta tidak punya pilihan selain menyatakan perang terhadap Thebes. Pada 371 Sebelum Masehi, pasukan Sparta berbaris untuk berperang melawan Thebans dalam Pertempuran Leuctra.

Namun karena kekurangan warga negara, helot terpaksa digunakan dalam pertempuran. Para helot yang tidak berpengalaman dalam pertempuran dan jenderal Thebes, Epaminondas, adalah seorang ahli taktik yang mahir. Sang Jenderal paham bagaimana cara melawan taktik pertempuran Sparta dengan baik.

Pertempuran itu memberikan kemenangan besar bagi Thebes. Alih-alih mempertahankan wilayahnya saja, Thebes dengan percaya diri terus melakukan serangan militer ke wilayah Sparta yang lainnya.

Kekalahan Sparta di Leuctra menyebabkan pembubaran Liga Peloponnesia. Sebagian besar sekutunya memutuskan untuk menjauhkan diri dari negara-kota yang gagal. Aliansi Thebes dengan Persia semakin menghancurkan sisa-sisa kekuatan Sparta, wilayahnya pun makin berkurang.

Sparta diizinkan untuk tetap merdeka, tetapi ini segera berubah dengan pembunuhan Raja Nabis pada tahun 192 Sebelum Masehi.

Setelah kekalahan Liga Archean oleh Romawi, Sparta dimanfaatkan untuk menaklukkan Yunani. Romawi mengizinkan Sparta agar tetap menjadi negara kota yang independen. Ironisnya, ini hanya teori belaka. Sparta tahu betul bahwa mereka tidak lagi memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri sendiri.

Invasi Visigoth pada 396 Masehi jadi pukulan telak terakhir bagi kehancuran Sparta. Sparta dijarah, penduduknya dijual sebagai budak. Akhir yang memalukan bagi negara kota Yunani Kuno yang paling disegani dulu.