Upaya si Pengamat Alam Romawi Menyelamatkan Diri dari Letusan Vesuvius

By Sysilia Tanhati, Rabu, 6 Juli 2022 | 11:00 WIB
Letusan Gunung Vesuvius menghancurkan kota-kota dan menewaskan ribuan orang. Termasuk komandan armada angkatan laut Romawi, Plinius yang Tua. Keponakannya menceritakan upaya si Pengamat Alam Romawi menyelamatkan diri dari letusan Vesuvius. (John Martin)

Nationalgeographic.co.id—24 Agustus 79 Masehi merupakan salah satu hari yang tidak terlupakan dalam sejarah dunia Romawi. Di hari itu, lanskap Teluk Napoli berubah selamanya akibat letusan Gunung Vesuvius. Bencana ini menghancurkan kota, rumah, dan menewaskan ribuan orang. Termasuk Plinius yang Tua. Keponakannya menceritakan upaya si Pengamat Alam Romawi menyelamatkan diri dari letusan Vesuvius.

Mirisnya, kisah kematian Plinius yang Tua sama terkenalnya dengan prestasinya. Sang Keponakan, Plinius yang Muda, membeberkan potret menarik dari seorang pengamat alam pemberani. Catatannya menjadi salah satu tulisan berharga dari hari yang tidak terlupakan dalam sejarah Romawi kuno.

Plinius yang Tua dan keponakannya

Lahir sekitar tahun 23-24 Masehi, Plinius yang tua memegang posisi penting di Kekaisaran Romawi. Ia juga seorang penulis dan pengamat alam yang disegani. Karyanya, Natural History, merupakan sebuah ensiklopedia yang mencakup berbagai topik.

Pada tahun 79 Masehi, Plinius yang Tua diangkat sebagai komandan armada angkatan laut Romawi. Posisi militer bergengsi ini membuatnya ditempatkan di pangkalan armada di Misenum. “Letaknya sekitar 50 kilometer ke atas pantai dari Gunung Vesuvius dan Pompeii,” ungkap Laura Hayward dilansir dari laman The Collector.

Plinius yang tua memegang posisi penting di Kekaisaran Romawi. Ia juga seorang penulis dan pengamat alam yang disegani. (Lombardo Veneto)

Sang Keponakan, Gaius Plinius Caecilius Secundus, lahir pada tahun 61 Masehi. Sepeninggal sang Ayah, ia tinggal bersama pamannya, Plinius yang Tua. Terinspirasi dengan pamannya itu, ia kerap melakukan pengamatan ilmiah.

Plinius yang Muda juga menerbitkan banyak koleksi surat yang mengisahkan tentang kehidupan dan politik Romawi pada abad pertama. Salah satu yang terkenal adalah surat yang membeberkan tentang detik-detik terakhir menjelang kematian tragis Plinius yang Tua.

Tacitus, sejarawan Romawi mendorong Plinius yang Muda untuk memberikan laporan kematian pamannya. "Saya tahu bahwa ketenaran abadi menantinya jika kisah kematiannya dituliskan oleh Anda," kata Tacitus, sejarawan Romawi kuno.

Dalam Surat 6.16 Plinius yang Muda memberikan narasi tentang detail kematian pamannya.

Pada sore hari tanggal 24 Agustus 79 Masehi, Plinius yang Tua sedang mengerjakan tulisan terbarunya. Kakak perempuannyalah yang pertama kali memperhatikan penampakan awan aneh dan menakutkan di kejauhan.

Plinius yang Tua memutuskan untuk melihat lebih dekat. Ia naik untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik dari awan. Menyadari bahwa ada yang tidak beres, Plinius yang Tua memerintahkan agar kapal disiapkan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Di saat yang sama, Rectina teman mengirimkan surat untuk meminta bantuannya.

Pada titik ini, misinya berubah dari pengamatan menjadi penyelamatan. IArmada kecil kapal perang diluncurkan untuk membantu warga di sepanjang pantai, termasuk Rectina. Sesampainya di rumah Rectina, yang terletak sekitar lima kilometer dari Pompeii, juru mudi kapal menyarankannya untuk kembali. Permintaannya ditolak oleh Plinius yang Tua dan ia malah meminta bantuan Poponianus.

Teror Gunung Vesuvius

Menjelang sore di rumah Poponianus, situasinya menjadi semakin berbahaya. Ia melihat lembaran api yang luas dan api yang melompat-lompat. Dari kejauhan, rumah-rumah terbakar oleh aliran lahar yang menuruni gunung dengan cepat.

Plinius yang Tua dan teman-temannya memutuskan untuk tetap berada di dalam rumah dan berusaha tidur. “Budaknya membangunkannya dan menunjukkan bahaya baru di luar jendela,” ungkap Hayward. Halaman dalam dengan cepat dipenuhi dengan abu dan batu apung, membuat pelarian semakin sulit. Sementara itu, rumah mulai bergetar akibat getaran kecil dari erupsi.

Mereka mempertimbangkan keuntungan dan kerugian untuk tetap tinggal di dalam rumah. Di luar, bebatuan besar berjatuhan. Namun jika tetap berlindung di dalam rumah, fondasi pun menjadi tidak stabil.

Setelah diskusi, mereka memutuskan bahwa yang terbaik adalah mencoba melarikan diri selagi masih bisa meninggalkan rumah. Dengan ‘kostum’ yang tidak biasa, bantal diikatkan ke kepala untuk melindungi diri dari batu yang jatuh.

Saat melewati kabut abu dan batu apung, Plinius yang Tua menggambarkan kegelapan: "lebih hitam daripada malam biasa."

Kematian tragis si Pengamat Alam

Plinius yang Tua memutuskan untuk pergi ke pantai, mencari tahu apakah pelarian melalui laut masih mungkin dilakukan. Namun ombak sudah terlalu tinggi untuk berlayar bahkan dengan perahu besar.

Pada titik inilah ia mulai berjuang secara fisik dan berulang kali meminta air dingin untuk diminum. Api dengan cepat melahap teman-temannya, bersamaan dengan bau belerang yang memabukkan.

Detail terakhir yang diketahui tentang Plinius yang Tua adalah bahwa dia terlihat bersandar pada dua budak. Dua hari kemudian, tubuhnya ditemukan di pantai. Plinius yang Muda menunjukkan bahwa pamannya meninggal karena sesak napas. “Asap beracun membatasi tenggorokannya,” Hayward menambahkan.

Dalam Surat 6.20, Plinius yang Muda menuliskan tentang pengalamannya ketika menunggu kabar dari sang Paman. Begitu getarannya semakin sering dan ganas, ia dan ibunya meninggalkan rumah di Misenum. Keduanya terjebak dalam kerumunan besar orang yang juga berusaha melarikan diri.

Plinius yang Muda menggambarkan saat yang menakutkan ketika siang hari menghilang. Mereka berada dalam kegelapan yang tak tertembus. (Domenico Gargiulo)

Plinius yang Muda menggambarkan saat yang menakutkan ketika siang hari menghilang. Mereka berada dalam kegelapan yang tak tertembus. Abu dan batu apung menimpa sehingga membahayakan pelarian.

Dalam detail yang mengerikan, Plinius yang Muda mengingat dengan jelas tangisan pedih anak-anak. Mereka terpisah dari orang tua mereka dalam kekacauan akibat amukan Vesuvius.

Tidak punya pilihan, Plinus yang Muda kembali ke Misenum bersama sang Ibu. Meski rusak, rumahnya masih tetap berdiri dan bisa memberikan perlindungan. Di sanalah ia menunggu kabar dari sang Paman.

Sumber informasi penting tentang erupsi Gunung Vesuvius

Catatan Plinius yang Muda tentang kematian pamannya mencakup banyak informasi terperinci tentang berbagai tahap letusan Gunung Vesuvius. Meskipun ia menulis 27 tahun setelah peristiwa itu, bukti utamanya didasarkan pada kesaksiannya sendiri dan laporan dari para penyintas.

Sumber kuno ini digunakan oleh para arkeolog dan ahli vulkanologi selama berabad-abad untuk memahami tentang letusan Gunung Vesuvius. Juga bagi para arkeolog yang mempelajari tentang kehancuran dan pelestarian yang luar biasa dari kota terdekat Pompeii. Dalam sebuah studi penting, Sigurdsson et al. (1982) berpendapat bahwa catatan Plinius yang Muda mengungkapkan bahwa letusan Gunung Vesuvius terjadi dalam dua fase utama. Fase pertama dari abu jatuh dan batu apung kemudian diikuti oleh fase kedua dari longsoran abu panas. Fakta ini membantu para arkeolog untuk memahami lebih jelas bagaimana penduduk Pompeii tewas.

Selain itu, penjelasan dalam surat kepada Tacitus memungkinkan rekonstruksi garis waktu letusan dengan cukup akurat. “Berkat kemajuan teknologi, para ahli menyatakan bahwa narasi Plinius sebagian besar akurat,” imbuh Hayward.