Jenazah Raja Yunani Kuno Aleksander Agung Pun Jadi Penyebab Perang

By Sysilia Tanhati, Kamis, 7 Juli 2022 | 11:00 WIB
Hidupnya merupakan kisah paling menarik dalam sejarah. Bahkan setelah mati pun jenazah Aleksander Agung jadi penyebab perang berkepanjangan. (Wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Pada 11 Juni 323 Sebelum Masehi, Aleksander Agung meninggal dunia. Selama hidupnya, ia menaklukkan negara adidaya dan mendirikan kerajaan terbesar yang pernah ada. Hidupnya merupakan kisah paling menarik dalam sejarah. Bahkan setelah mati pun jenazah Aleksander Agung jadi penyebab perang berkepanjangan.

Kekacauan setelah kematian Aleksander Agung

Tak lama setelah kematiannya di Babilon, kekacauan merebak. Ia tidak menyebutkan penerus yang jelas dan orang Makedonia berdebat tentang nasib kekaisaran. Saking serunya mereka berselisih, jenazah Aleksander Agung dibiarkan berhari-hari tanpa pengawasan. Meski dibiarkan begitu saja di tengah panasnya udara Babilonia, menurut legenda, jenazahnya tidak mengalami pembusukan.

Perdikas, komandan Makedonia berpangkat tertinggi di Babilon, memerintahkan agar tubuh Aleksander dibalsam. Setelah itu, ia pun ditempatkan di peti mati emas.

Persiapan membawa Aleksander Agung ke tempat peristirahatan terakhirnya

Selama dua tahun berikutnya, jenazah Aleksander tetap berada di Babilon. Kereta pemakaman yang rumit dipersiapkan. Bukan kereta biasa, Perdikas memastikan kereta tersebut dirancang menyerupai kuil megah. Digambarkan duduk di antara para dewa, kereta tersebut memiliki kolom-kolom indah dan berlapis emas.

Kereta ditarik oleh 64 bagal (campuran antara kuda dengan keledai) yang masing-masing memiliki mahkota emas dan lonceng.

Kereta ini digunakan untuk mengantar jenazah Aleksander Agung kembali ke Aegae di Makedonia. Ini adalah tempat peristirahatan kuno Raja Makedonia. Namun ternyata, rencana pemindahan ini merupakan suatu kesalahan besar.

Ambisi Ptolemaios I Soter

Ptolemaios I Soter, gubernur Makedonia di Mesir, memiliki hubungan yang buruk dengan Perdikas. Sadar akan kekayaan dan potensi Mesir yang besar, Ptolemaios berambisi untuk melepaskan diri dari kendali Perdikas yang angkuh. “Menurutnya hal ini bisa dicapai jika ia mengambil alih tubuh Aleksander yang sudah tidak bernyawa,” ungkap Tristan Hughes di laman Battles of the Ancients.

Bagi Perdikas, Ptolemaios, dan penerus lainnya, tubuh Alexander lebih dari sekadar mayat. Jenazah tersebut merupakan jimat yang mewakili otoritas dan legitimasi di dunia baru pasca-kematian Aleksander Agung. Jadi, siapa pun yang mengendalikan jenazah tersebut, memegang kekuasaan besar di kerajaannya.

Perdikas sangat menyadari hal ini. Maka sejak kematian Alexander, ia menjaga jenazahnya dengan sebaik mungkin. Meski penjagaan ketat, ini tidak membuat menyurutkan niat Ptolemaios. Jika jenazah itu berada di tangannya, ia akan mendapatkan klaim dan hak untuk memerintah. Ini menjadi langkah awal untuk membangun kerajaannya kelak.

Di saat yang sama, kehilangan jenazah orang terpenting ini akan merusak reputasi Perdikas, saingannya. Rencana untuk merebut jenazah pun mulai disusun oleh Ptolemaios.

Pencurian jenazah Alexander

Pada 321 Sebelum Masehi, kereta pemakaman Aleksander yang megah meninggalkan Babilon menuju Makedonia. Saat melewati Suriah, Ptolemaios bergerak dan menyuap pengawal. Ia merampas jenazah dan membawanya ke Mesir, di mana ia ditempatkan di Memphis – ibu kota kuno Mesir.

Kabar tentang pembajakan jenazah Aleksander Agung oleh Ptolemaios membuat Perdikas murka. Harga dirinya seakan tercoreng. “Perdikas segera menuju ke Mesir bersama pasukannya,” tambah Hughes. Jika ia mampu mengambil kendali atas jenazah itu, otoritasnya pun akan dipulihkan. Rencana tinggal rencana, Perdikas tewas saat pertarungan merebut jenazah Aleksander Agung. Tubuh Alexander sekarang aman di tangan Ptolemy.

Propaganda Ptolemaios

Setelah kematian Perdikas, Ptolemaios pun segera menunjukkan hubungannya dengan Aleksander Agung. Ia melakukan segala hal untuk menggambarkan kedekatannya dengan sang Raja Makedonia itu. Termasuk mengeluarkan koin bergambar Aleksander Agung.

Untuk menarik hati orang Mesir, Ptolemaios menyebarkan kisah Aleksander Agung yang dikaitkan dengan Mesir. Alih-alih sebagai putra Philip dari Makedonia, kisah Alexander sebagai putra firaun Mesir terakhir Nectanebo II pun menyebar luas.

Pada 343 Sebelum Masehi, Persia menggulingkan Nectanebo, yang kemudian meninggal di pengasingan. Sarkofagus Nectanebo di Memphis tidak pernah diisi oleh pemiliknya. Kemungkinan Ptolemaios pertama kali menempatkan Aleksander di sarkofagus kosong ini. Dari sinilah kisah tentang Aleksander putra sang Firaun berasal.

Seorang firaun Mesir hanya bisa sah jika ia memiliki hubungan keluarga dengan pendahulunya. Jadi kisah ini menunjukkan Aleksander sebagai pewaris sah Nectanebo. Tidak hanya itu, hubungan antara Makedonia dan Mesir pun terjalin. “Dan ini mendukung segala upaya Ptolemaios untuk mencapai tujuannya,” ungkap Hughes.

Pada saat yang sama, Ptolemaios mulai menyebarkan desas-desus bahwa ia sebenarnya adalah putra tidak sah Philip II. Maka, ia pun menjadi saudara tiri Alexander dan pewaris sahnya di Mesir. Kedua kisah luar biasa itu menyebar dengan cepat. Tidak diragukan lagi, kisah karangan Ptolemaios membantunya mengamankan kekuasaan di Mesir. Semua ini berkat jenazah Aleksander Agung yang berada di tangannya.

Memindahkan Aleksander Agung ke ibu kota baru

Setelah pertempuran Ipsus pada 301 Sebelum Masehi, Ptolemaios memindahkan jenazah Aleksander Agung ke pusat ibu kota barunya di Aleksandria. Di sana, Aleksander Agung ditempatkan di sebuah makam baru yang rumit.

Aleksandria, kota kosmopolitan pertama di persimpangan dunia ini sempat tidak tertandingi di dunia kuno. Kota ini jadi pusat budaya dan ekonomi Mediterania kuno. (Johann Bernhard Fischer von Erlach)

Ptolemaios pun segera melontarkan banyak pujian kepada Aleksander Agung. Ini membuat sang Raja dihormati secara terang-terangan sebagai pendiri Aleksandria. Tidak hanya itu, Ptolemaios pun memperkenalkan kultus Aleksander Agung di seluruh Mesir. Patung-patung dibangun, serangkaian prosesi dan festival pun dilakukan.

Pada tahun 283 Sebelum Masehi, Ptolemaios I meninggal. Semasa hidupnya, ia berhasil membangun hubungan terdekat antara dirinya dan Aleksander Agung. Ia mengangkat dirinya menjadi penjaga sah makam Aleksander Agung dan penggantinya di Mesir.

Selama 150 tahun berikutnya, keturunan Ptolemaios memerintah Mesir. Meskipun di tempat lain ingatan akan Aleksander Agung perlahan memudar, bagi dinasti Ptolemaik, ia adalah kunci kelangsungan dinasti.

Ptolemaios I Soter disandingkan dengan Aleksander Agung sebagai dewa

Setelah kematiannya, Ptolemaios I disembah sebagai dewa, bersama dengan Aleksander Agung, di seluruh Mesir. Pesannya jelas: dalam hidup dan mati, kedua raja ini tidak dapat dipisahkan.

Festival keagamaan ‘Ptolemaia’ pun diselenggarakan untuk menghormati Ptolemaios I. Diadakan setiap empat tahun sekali, festival ini menarik ribuan pengunjung dari Mesir dan Yunani.

Parade yang sangat mewah melalui pusat kota Aleksandria. Prajurit, hewan, permata, emas, dan patung dewa semuanya ditampilkan. Ini menekankan kekayaan, kemegahan, dan kekuatan Mesir yang tak terbatas dalam kepemimpinan dinasti Ptolemaik.

Arak-arakan megah ini seakan ingin menunjukkan hubungan tidak terpisahkan antara Aleksandria, Aleksander Agung, dan Ptolemaios.

Makam baru

Selama 50 tahun berikutnya, makam Aleksander Agung berada di pusat kota Aleksandria. Namun di masa Ptolemaios IV, 'Philopator', nasib jenazah itu pun berubah.

Seakan ingin menunjukkan hubungan dekat antara keluarganya dengan Aleksander Agung, jenazah itu kembali dipindahkan. Philopater menempatkannya di kompleks pemakaman kerajaan yang baru. Kompleks baru segera dikenal sebagai 'Soma'.

Hampir tidak ada bukti tentang seperti apa mausoleum baru ini. Kompleks itu mungkin berbentuk lingkaran dan menjadi inspirasi bagi makam besar kaisar Romawi Augustus dan Hadrian.

Di dalam kompleks baru ini, Ptolemaios IV menempatkan jenazah Alexander di ruang bawah tanah. Leluhurnya, Ptolemaios I, berada di ruang sebelahnya. Sekali lagi ingin menekankan hubungan terdekat di antara keduanya.

Bersama dengan mercusuar dan perpustakaannya terkenal, Soma adalah fitur ikonik Aleksandria. Peziarah dari jauh akan melakukan perjalanan ke kota Aleksander dan melihat makamnya yang menakjubkan.

Namun, tidak ada dinasti yang bisa bertahan selamanya. Pada awal Abad Pertama Sebelum Masehi, dinasti Ptolemaik menjadi bayang-bayang dari kekuatan pemimpim-pemimpin terdahulu.

Gejolak yang terlampau besar membuat Raja Ptolemaios X melakukan tindakan yang fatal. Karena membutuhkan biaya besar untuk tentara, ia melebur sarkofagus emas Aleksander Agung. Sarkofagus itu pun diganti dengan peti kaca.

Kekuatan dinasti Ptolemaik terus menurun hingga Aleksandria dikuasai oleh Romawi. “Untuk alasan yang berbeda, Romawi juga tertarik akan makam Aleksander Agung,” imbuh Hughes.